Maaf, Saya Tidak Suka Anda (Part I)

Standar

Ketika hari tak lagi membagi waktunya kepadaku. Aku bergegas pergi dari aroma kamar mandi yang memabukkan lamunan. Kadang temanku bilang, satu dayung dua-tiga wanita terlampaui. Ah, apa urusannya? Seorang Mahasiswa semester empat. Berwajah Oriental. Dan magang disalah satu Media Cetak terkenal di Kalimantan. Tentu tak ada urusannya dengan perempuan. Kadang, aku rela terlambat makan demi sebuah berita.

Hari ini. Tepatnya satu hari sebelum ulang tahun kekasihku. Jadwal kuliah bertabrakan dengan tugas mencari data suatu acara di Dinas Pendidikan. Aku tak habis pikir dengan mereka-mereka yang berpakain seragam didalam sana. Raut muka tak ada yang renyah. Aku berjalan. Mencari Heny. Nama seorang pegawai yang bersangkutan dengan data yang kucari, “Wah, belum rampung. Mungkin nanti siang!” Bagaimana ini? Sudah tadi malam aku mengejar deadline dengan data yang tidak lengkap. Dan baru saja, data yang diperlukan itu tidak ada. Alasan apalagi yang harus ku berikan kepada Redaksi. “Baiklah bu, mungkin nanti siang.”
“Asal jangan malam-malam” jawab beliau sambil mengerling. Perempuan berjilbab berkacamata putih dan bertubuh besar itu menebarkan bau badan yang khas.

Aku tak harus berlama-lama di Dinas tersebut. Aku menuju kampus dengan kuda besi butut. Sesampainya dikelas. Perempuan dipojok kanan sana. Tatapan yang tajam menggurat rasa iris dihati. Alis mata yang mengkerut. Bibir yang melengkung ke bawah. Muka belia yang tak sedikitpun menggoreskan senyuman. Seperti tak ingin menghirup indahnya canda. Tidak sedikitpun. Lihat Ezha, seorang teman berambut tipis yang disuruh kedepan untuk praktek menjadi guru. Dia seperti menyelimuti kemaluan yang menggelitik dengan percaya diri. Padahal, setiap kata-katanya tak terlalu berpengaruh untuk perempuan di pojok kanan sana. Seperti artis yang catwalk di panggung. Lagi-lagi. perempuan itu tak menggurat senyum ketika ruang bernuansa canda. Maaf bu, saya tidak suka anda. Aku bergumam dalam hati.

Kuliah pertama berakhir. Disambung dengan perkuliahan selanjutnya. Lelaki paruh baya dengan kacamata dan berwajah gembul. Dia memerintahkan semua Mahasiswa mengumpulkan tugas yang baru saja kemarin diberikan. Sesingkat itukah? Aku tak mengerjakannya. Keseharianku tak pernah kosong dari jalanan yang panas berdebu. Aku lebih sering hidup diluar dengan angin yang diam daripada di balik tembok yang penuh dengan kedamaian.

Satu minggu kemudian. Siapa lagi kalau bukan ibu dosen yang berkulit coklat itu. Tidak tinggi dan kali ini berkerudung ungu. Padahal aku sudah berniat tak masuk hari ini, hanya karena kebetulan. Aku harus meliput lalu lintas yang semerawut akibat parkir liar yang lokasinya tidak jauh dari kampus. Aku berlari. Kelas dimulai. Aku memang sudah terlalu biasa dengan budaya terlambat di Indonesia. Entah kenapa, budaya inipun menjadi agenda rutin anggota DPR dan Pegawai Negri. “Anda, silahkan maju” perintah beliau kepadaku. Rasanya darah ini mengalir cepat kepusat syaraf. Mudku sedang tidak baik. “Maaf bu, saya tidak suka anda” jelasku dengan nada tinggi seraya berdiri. Disambut gemuruh teman-teman sekelas yang bingung dengan perlakuanku. Aku pergi meninggalkan kelas. Dan beranjak menuju kerumah untuk tidur siang.

Sudah tiga kali mata kuliah beliau kosong karena tidak masuk. Aku heran, masih saja ada dosen yang merajuk layaknya anak remaja sekarang. “Lebih baik kau segera mendatangi beliau dan meminta maaf Nda” ungkap seorang teman yang duduk disebelahku. Aku tidak merasa bersalah. Aku hanya tidak suka dengan perangai dosen yang sok pintar bergelar sarjana seperti dia. Berpenampilan menor seperti penyanyi solo yang beritanya selalu penuh dengan sensasi. Gaya bicaranya terkesan benar dan tak pernah ada kesalahan sedikitpun. Memangnya beliau tak mengerti Psikologi? Bukankah dalam media pembelajaran sangat penting mendalami Psikologi pendidikan. Aku terpaku sejenak. Meredakan rasa angkuh dihati. Aku bukan tak ingin beliau kembali mengajar. Aku hanya tak suka dengan gayanya.

Hari kembali berdebu. Hari ini perkuliahan terakhir di sabtu. Seperti sedia kala. Tugas profesi berbenturan dengan jadwal kuliah. Aku putuskan untuk meninggalkan salah satunya dan menyelidiki kasus korupsi di Dewan Kesenian Daerah. Diduga Bupati setempat menyelewengkan dana dengan cara membengkakkan anggaran belanja daerah. Demi berangkat ke Eropa guna menghadiri festival Budaya. Aku telah menghubungi berbagai Narasumber yang bersangkutan. Sejak pagi kemarin. Aku sudah keluar masuk berbagai kantor dan dinas mencari fakta dan bukti fisik terkait rumor yang beredar dipublik. Ah… Ku akui kawan. Menjadi jurnalis pro itu bukan hal mudah seperti memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Tapi jikalau berhasil, rasa seperti mendapatkan percikan air dalam tenggorokan di tengah padang sahara. Dan betapa kecewa. Hasilnya nihil. Aku tak mendapatkan apa-apa hari ini.

Kali ini beliau hadir mengisi perkuliahan-Ibu dosen. Dengan tatapan merah padam seperti orang yang menderita demam sebulan.
To be continued…

2 pemikiran pada “Maaf, Saya Tidak Suka Anda (Part I)

  1. WithHeart

    Kayaknya jenuh ya, seperti ada yang tertinggal. Seperti melakukan pekerjaan demi meraih apa yang diinginkan, tapi melupakan satu hal.

Tinggalkan Balasan ke hirangputihhabang Batalkan balasan