Budaya Kita Budaya Mereka

Standar

Baru pulang dari Banjarmasin. Meminang beberapa buku di antara kaum hawa yang memelas dan mewarnai tubuh mereka hitam putih. Kadang berambut panjang, kadang berlengan panjang. Begitulah suasana yang biasa kita jumpai di perkotaan. Terutama di mall-mall dan pusat pernbelanjaan modern.

Saya sudah berniat untuk tidak menulis panjang malam ini karena waktu berpikir sudah memangkas sebagiaan waktu istirahat saya. Tentunya berbeda dengan kaum hedonis yang tak mempersoalkan masa-masa sulit. “Yang penting happy!” begitu katanya.

Matahari siang tadi tidak terlalu memekik, meski awan sempat menyemburkan wisanya di pagi hari yang membuat kita ingin berlama-lama di atas ranjang. Di zaman era digital seperti sekarang, rasanya perangkat pintar atau gawai elektronik sudah menjadi kebutuhan primer. Bangun tidur pegang handphone, cek email atau mention. Kalau tak punya handphone, niscaya ketinggalan zaman dan informasilah ia. Bagi saya punya atau tidak punya itu tidak terlalu penting. Tetapi bagaimana orang-orang menggunakan gawai perangkat pintar itu sesuai kebutuhannya. Orang modern bilang, Gadget.

Bukannya iktu-ikutan, tapi profesi saat ini memang menuntut saya memiliki berbagai gadget yang mencukupi kebutuhan. Tak usah terlalu mahal yang penting memang berguna sesuai fungsi dan manfaatnya. Bukan untuk keren-kerenan.

Beberapa rekan saya seperjuangan pernah mengeluhkan. Katanya, gara-gara smartphone ia tidak bisa tidur cepat. Dan ia mengungkapkan hal itu seperti situs jejaring sosial semisal facebook, twitter, atau aktivitas di BlackBerry Mesangger (BBM). Menurut saya itu hal goblok yang lucu. Terang saja kalau mereka memang setia tak terpisahkan dengan gawai tersebut, dikala waktu istrahat dengan dering yang berkesinambungan atau getar yang mengejutkan membuat mata dan hati kadang tak bisa tenang. Ada email lah, ada inbox lah, ada mention lah, ada komentarlah, semua selalu di ada-ada. Bahkan kalau memang tidak ada pemberitahuan apa-apa kita justru membuat-membuatnya. Semisal membuat status cerdas, atau ngetwet kata-kata bijak. Atau megeluhkan sesuatu dalam aktivitas BBM. Semua selalu kita buat-buat untuk membuat kita semakin tak berniat memejamkan mata dan mengisitrahatkan otak.

Lebih lucunya lagi, terbangun di tengah malam karena sesuatu yang tidak mengenakkan malah diceritakan di status facebook. Misalnya, “Aduuuuh terbangun gara-gara sakit perut, jadi susah bobo deh,” katanya. Atau… “Mimpi buruk lagi. Seremnya bikin takut. Sulit memejamkan mata,” misalnya. Berikutnya, apa yang kita harapkan? Bukankah komentar? Mention? Perhatian? Responsif dari follower atau friends? Bagaimana bisa tidur kalau kita tidak berusaha menghindari hal itu semua. Pengguna smartphone memang terkadang lucu-lucu goblok.

Memberi pemikiran atau menyampaikan pendapat kepada orang lain memang tidak harus diterima mentah-mentah. Tentu kita harus mempnyai landasan luas untuk memfilter yang mana memang perlu kita pahami dan aplikasikan dalam keseharian kita. Sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Di era digital jaman sekarang, informasi sudah berlari dan terlalu cepat tersaji. Belum lagi mengedipkan mata datang lagi info yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Dalam hal pendidikan, orang tua yang mendidik di era sekarang mungkin lebih mudah dengan kepintaran anak-anaknya mengakses internet dan belajar apa-apa yang mereka ketahui. Tak perlu ke perpustakaan tua dimana tiap rak-raknya penuh dengan buku-buku berdebu pula. Di sisi lain, saya miris juga melihat peradaban drastis bangsa kita yang mulai mengikis budaya.

Jika boleh saya sebutkan, sekarang sudah jarang sekali ada permainan merakyat layaknya badaku, baasinan, susun batu, kelereng, layang-layang, main tali, balogo, bagimpar, bagasing, bekel, akraga, congkak, dhakonan, encrak, buta lele, adang-adangan, petak umpet, niokaluri, ketekhan, manuk kurung, bedil locok, pulu-pulu, atau permainan orang dewasa seperti calung, bahempas, no maca, caci, baleba, mappabendang, parise, bedil bambu, makepung, egrang, dan masih banyak lagi jenis permainan tradisional rakyat yang tersebar di seluruh Nusantara. Bukankah Negara kita terlalu kaya dalam konteks “budaya”.

Tetapi semua budaya kini mulai dikikis oleh budaya asing. Sebut saja K-Pop. Boyband dan girlband, gossip paling hot artis sedunia dan manca Negara paling update, fashion yang robek-robek dan setia nampang mengisi hari-hari televisi-televisi swasta. Meski terkadang TVRI juga ikutan demi kepentingan pasar.

Sedangkan permainan rakyat, nyaris seluruh permainan itu kini digantikan dengan permainan digital yang terstruktur dalam Operation System Play Station, OS Android, iOS, Nokia, Windows, RIM, PSP, dan beberapa perangkat lainnya dari vendor-vendor asing ternama Negara sana. Sono nooooh…!!! (Sembari mengacungkan jari telunjuk ke belakang)

Menelaah orang-orang yang hidupnya mengikuti trend gadget atau bergaya hidup digital seperti tersiksa. Soal teknologi selalu baru setiap bulan, ada juga yang setiap pekan, bahkan sudah ada yang update di tiap hari. Zaman memang sudah ‘edan’. Ah, masyarakat kelas menengah ke bawah malah mau ikutan! Siap-siap rogoh kocek tuh dompet sampai robek!

Lalu apa mereka salah? Saya tidak terlalu mengetahui itu. Silakan bertanya kepada mereka langsung. Beruntungnya, Indonesia masih mempunya regenerasi lulusan pesantren yang kuat Tauhidnya, kuat hapalannya, tidak tergoda tapi tidak ketinggalan juga. Dan juga masyarkat yang cerdas menggunakan teknologi tidak sedikit. Tak hanya pintar bicara tetapi juga pintar mengaplikasikannya. Dan wakil rakyat kita sudah melaksanakan tugasnya sebagai perwakilan. Rakyat ingin punya laptop canggih, sudah diwakili. Masyarakat ingin punya tablet, sudah diwakili. Masyarkat ingin punya smartphone, sudah diwakili. Masyarakat ingin punya mobil mewah, eh, mereka sudah mewakili. Alhamdulillah ya! (dengan logat Syahrini). Hanya kematian, kelaparan, dan kemisikinan yang mereka tak sanggup mewakili. Siapa juga yang mau?

Tampaknya saya menyalahi niat untuk tidak menulis panjang. Tidak fokus pula, melayang kemana-mana, setidaknya saya bisa orgasme ketika membacanya. Jika Insomnia telah menjadi tren penyakit main-main pengguna smarthphone, maka sudah saatnyalah kita sebagai user mengnonaktifkannya kala beristirahat. Dan ini recommended bagi user-user yang seling berkeluh kesah dengan smartphonenya. Meskipun pemimpin redaksi pernah berkata kepada saya, “Wartawan dilarang mematikan hapenya,” tegas pimred. Tapi sesekali mencoba, boleh juga.

Tulisan ini terlahir sebagai keprihatinan terhadap budaya kita Indonesia yang memang sudah lama terkikis. Pahit. Indonesia memang kaya, tapi tak sekaya orang-orang yang mengakali kekayaan Indonesia. Kalimantan penuh batu bara, tapi batu baranya milik orang-orang di luar Kalimantan yang berinvestasi di Jakarta. Alhasil, yang menghancurkan bangsa kita bukan orang-orang di luar Nusantara, tetapi sudah ditanamkan dalam pendidikan yang menyalahi kaedah budaya sejak dini, atau bisa juga pemerintahan saat ini, serta pemikiran yang kadang salah arti. Alhasil kebenaaran saat ini belum tentu kebenaran esok hari. Selamat datang awal pekan, hari sibuknya orang-orang berprofesi untuk mencari makan.

Mari Beristirahat, Mari mematikan Smartphone

Purnama Kingdom 01.00 Wita, dalam Insya Allah yang dialunkan gitar Gambus grup Musik Debu

Candu

Standar

Mobil itu melintas di bebatuan yg menghiasi kampung berhias danau. Di perbincangan pondok makan, mereka berkumpul di arena balap yang sudah tidak asing lagi dikalangan pencari berita.
“Lama tak berjumpa!” kata Deden kepada Arlin.
“Iya, Urusanku sekarang merambat ke pemerintahan bro!
“Hmmm, kamu mau jadi politik ya?”
“Ah, tidak! Dunia politik itu hanya mainan saja. Jangan terlalu kau percaya!” Dengan nada meremehkan kepada Deden.
“Wah berani sekali! Kamu lupa kalau aku Budayawan yang sering bekerjasama dengan pemerintah?”
“Aku ingat! Memangnya kenapa? Kamu tersinggung? Sudahlah… Jangan di dramatisir, pekerjaanku tak akan menghambat kinerjamu”
“aku masih bingung! Sebenarnya, apa sih pekerjaanmu sekarang lin? Hanya beberapa bulan tak bertemu, berubah!”
“Berubah bagaimana? Wonderwomen kalle gue!”
“Kamu terlihat lebih jantan… Haha! Dasar cewek tomboy!”
“Ah kamu den, bukankah sejak dari dulu waktu kita SMA. Sampai-sampai si Iwan hampir pingsan gue tonjok gara-gara pegang pantat gue!”
“Whahaha… Bener banget Lin. Aku ingat itu. Sekarang dia bekerja dimana ya?”
“Hmmm… EGP. Ku tinggal ya! Terburu-buru nih. Waktunya mepet!”
“Yoi bro. Hati-hati dijalan ya miss!.” Arlinpun beranjak pergi meninggalkan Deden di teduhan Gedung Iqra Banjarmasin. Dua sahabat sejak SMA yang sudah lama tak bertemu. Karena hujan… Memang selalu karena hujan yang membuat orang-orang mengenang masa-masa tak terduga namun menyenangkan tuk di ingat. Tak lama kemudian.
“Braaaaaaaak!!!”