Pengalaman Singkat Fotografi

Standar

Saya jadi ingat waktu pertama kali pegang DSLR punya sobat sekampus. Dan hasil fotonya bagus seluruhnya menurut pandangan mata anak muda seumuran saya. Waktu itu dia bilang, “Kalau mau punya foto seperti ini harus punya DSLR dulu,” ujarnya. Saya jadi tersugesti untuk punya kamera besar sebagaimana yang dia pegang. Meski fotografi sudah menjadi ketertarikan saya sejak SD. Masih zaman film sekitar 1992. Tapi orang tua bukanlah kalangan orang berduit yang bisa membelikan kamera berkelas.

Singkat cerita sekarang di era digital, tepatnya awal kuliah di tahun 2009. Saya punya handphone berkamera. Mereknya Sony Ericsson K800i. Semua fitur saya gunakan dan maksimalkan. Dan mempunyai album khusus di facebook. Lumayanlah, banyak yang bertanya-tanya menggunakan kamera apa, nyatanya saya hanya menggunakan handphone kamera.

Kemudian bisnis fotografi semakin menjanjikan. Saya pun terjun bersama rekan yang lain untuk mengambil job wedding, meski hanya menjadi asisten, memegang lampu, bawa peralatan fotografer, dan sesekali memotret kalau dipinjami. Alhasil, ada sedikit demi sedikit ilmu yang saya pahami di teknologi DSLR.

Kemudian saya putuskan untuk membeli kamera. Karena tidak mempunyai budget yang cukup membeli yang baru, maka saya belilah punya teman 2nd dengan harga yang relatif murah. Beberapa kali bayar pula. Kamera DSLR Olympys E-520 dengan lensa kit 14-42mm f/3.5-5.6. Ia rela melepas Olympus itu karena sudah mampu upgrade dan pinda sistem ke Canon EOS 5D Mark II + Fix 50mm f/1.4.

Pada akhirnya, kami sama-sama belajar dan menemukan karakter masing-masing. Dia lebih suka memotret model berjenis fashion dan saya lebih ke jurnalistik. Semua saya lalui dengan proses panjang dan jatuh bangun. Ingin beli itu, beli ini, upgrade lensa, ganti merek, beli lampu, punya kawan lebih bagus, karena pakai A, yang satu lebih menarik karena memakai B, dan yang satu lebih natural karena kamera C. Alhasil semua berkutat di seputar alat saja.

Pada akhirnya, pengalamanlah yang memberikan pemahaman. Berpuluh bahkan beratus-ratus teori sudah saya lahap hingga sejumlah rak buku soal fotografi saya serap. Tapi tanpa praktek semua nihil. Hingga saya berkesempatan bekerja di salah satu harian lokal Kalimantan, barulah terasa. Alhasil, semua jenis alat bagus dan menunjang kemampuan. Pengalaman dan jam terbang tinggi di lapangan sangat menentukan hasil foto dari level terbawah sampai kelas pro. Apapun kameranya.

Kalau boleh saya katakan, fotografer yang menghasilkan foto dari kamera kelas bawah atau entry level adalah hal yang “Maksimal”. Tetapi fotografer yang mampu menghasilkan foto dan begitu paham pengoperasian kamera miliknya hingga kelas pro sekalipun, maka itulah “Sempurna”.

Maaf jika tulisan saya terkesan seperti cerpen. Sekadar berbagi.

 

Budaya Kita Budaya Mereka

Standar

Baru pulang dari Banjarmasin. Meminang beberapa buku di antara kaum hawa yang memelas dan mewarnai tubuh mereka hitam putih. Kadang berambut panjang, kadang berlengan panjang. Begitulah suasana yang biasa kita jumpai di perkotaan. Terutama di mall-mall dan pusat pernbelanjaan modern.

Saya sudah berniat untuk tidak menulis panjang malam ini karena waktu berpikir sudah memangkas sebagiaan waktu istirahat saya. Tentunya berbeda dengan kaum hedonis yang tak mempersoalkan masa-masa sulit. “Yang penting happy!” begitu katanya.

Matahari siang tadi tidak terlalu memekik, meski awan sempat menyemburkan wisanya di pagi hari yang membuat kita ingin berlama-lama di atas ranjang. Di zaman era digital seperti sekarang, rasanya perangkat pintar atau gawai elektronik sudah menjadi kebutuhan primer. Bangun tidur pegang handphone, cek email atau mention. Kalau tak punya handphone, niscaya ketinggalan zaman dan informasilah ia. Bagi saya punya atau tidak punya itu tidak terlalu penting. Tetapi bagaimana orang-orang menggunakan gawai perangkat pintar itu sesuai kebutuhannya. Orang modern bilang, Gadget.

Bukannya iktu-ikutan, tapi profesi saat ini memang menuntut saya memiliki berbagai gadget yang mencukupi kebutuhan. Tak usah terlalu mahal yang penting memang berguna sesuai fungsi dan manfaatnya. Bukan untuk keren-kerenan.

Beberapa rekan saya seperjuangan pernah mengeluhkan. Katanya, gara-gara smartphone ia tidak bisa tidur cepat. Dan ia mengungkapkan hal itu seperti situs jejaring sosial semisal facebook, twitter, atau aktivitas di BlackBerry Mesangger (BBM). Menurut saya itu hal goblok yang lucu. Terang saja kalau mereka memang setia tak terpisahkan dengan gawai tersebut, dikala waktu istrahat dengan dering yang berkesinambungan atau getar yang mengejutkan membuat mata dan hati kadang tak bisa tenang. Ada email lah, ada inbox lah, ada mention lah, ada komentarlah, semua selalu di ada-ada. Bahkan kalau memang tidak ada pemberitahuan apa-apa kita justru membuat-membuatnya. Semisal membuat status cerdas, atau ngetwet kata-kata bijak. Atau megeluhkan sesuatu dalam aktivitas BBM. Semua selalu kita buat-buat untuk membuat kita semakin tak berniat memejamkan mata dan mengisitrahatkan otak.

Lebih lucunya lagi, terbangun di tengah malam karena sesuatu yang tidak mengenakkan malah diceritakan di status facebook. Misalnya, “Aduuuuh terbangun gara-gara sakit perut, jadi susah bobo deh,” katanya. Atau… “Mimpi buruk lagi. Seremnya bikin takut. Sulit memejamkan mata,” misalnya. Berikutnya, apa yang kita harapkan? Bukankah komentar? Mention? Perhatian? Responsif dari follower atau friends? Bagaimana bisa tidur kalau kita tidak berusaha menghindari hal itu semua. Pengguna smartphone memang terkadang lucu-lucu goblok.

Memberi pemikiran atau menyampaikan pendapat kepada orang lain memang tidak harus diterima mentah-mentah. Tentu kita harus mempnyai landasan luas untuk memfilter yang mana memang perlu kita pahami dan aplikasikan dalam keseharian kita. Sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Di era digital jaman sekarang, informasi sudah berlari dan terlalu cepat tersaji. Belum lagi mengedipkan mata datang lagi info yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Dalam hal pendidikan, orang tua yang mendidik di era sekarang mungkin lebih mudah dengan kepintaran anak-anaknya mengakses internet dan belajar apa-apa yang mereka ketahui. Tak perlu ke perpustakaan tua dimana tiap rak-raknya penuh dengan buku-buku berdebu pula. Di sisi lain, saya miris juga melihat peradaban drastis bangsa kita yang mulai mengikis budaya.

Jika boleh saya sebutkan, sekarang sudah jarang sekali ada permainan merakyat layaknya badaku, baasinan, susun batu, kelereng, layang-layang, main tali, balogo, bagimpar, bagasing, bekel, akraga, congkak, dhakonan, encrak, buta lele, adang-adangan, petak umpet, niokaluri, ketekhan, manuk kurung, bedil locok, pulu-pulu, atau permainan orang dewasa seperti calung, bahempas, no maca, caci, baleba, mappabendang, parise, bedil bambu, makepung, egrang, dan masih banyak lagi jenis permainan tradisional rakyat yang tersebar di seluruh Nusantara. Bukankah Negara kita terlalu kaya dalam konteks “budaya”.

Tetapi semua budaya kini mulai dikikis oleh budaya asing. Sebut saja K-Pop. Boyband dan girlband, gossip paling hot artis sedunia dan manca Negara paling update, fashion yang robek-robek dan setia nampang mengisi hari-hari televisi-televisi swasta. Meski terkadang TVRI juga ikutan demi kepentingan pasar.

Sedangkan permainan rakyat, nyaris seluruh permainan itu kini digantikan dengan permainan digital yang terstruktur dalam Operation System Play Station, OS Android, iOS, Nokia, Windows, RIM, PSP, dan beberapa perangkat lainnya dari vendor-vendor asing ternama Negara sana. Sono nooooh…!!! (Sembari mengacungkan jari telunjuk ke belakang)

Menelaah orang-orang yang hidupnya mengikuti trend gadget atau bergaya hidup digital seperti tersiksa. Soal teknologi selalu baru setiap bulan, ada juga yang setiap pekan, bahkan sudah ada yang update di tiap hari. Zaman memang sudah ‘edan’. Ah, masyarakat kelas menengah ke bawah malah mau ikutan! Siap-siap rogoh kocek tuh dompet sampai robek!

Lalu apa mereka salah? Saya tidak terlalu mengetahui itu. Silakan bertanya kepada mereka langsung. Beruntungnya, Indonesia masih mempunya regenerasi lulusan pesantren yang kuat Tauhidnya, kuat hapalannya, tidak tergoda tapi tidak ketinggalan juga. Dan juga masyarkat yang cerdas menggunakan teknologi tidak sedikit. Tak hanya pintar bicara tetapi juga pintar mengaplikasikannya. Dan wakil rakyat kita sudah melaksanakan tugasnya sebagai perwakilan. Rakyat ingin punya laptop canggih, sudah diwakili. Masyarakat ingin punya tablet, sudah diwakili. Masyarkat ingin punya smartphone, sudah diwakili. Masyarakat ingin punya mobil mewah, eh, mereka sudah mewakili. Alhamdulillah ya! (dengan logat Syahrini). Hanya kematian, kelaparan, dan kemisikinan yang mereka tak sanggup mewakili. Siapa juga yang mau?

Tampaknya saya menyalahi niat untuk tidak menulis panjang. Tidak fokus pula, melayang kemana-mana, setidaknya saya bisa orgasme ketika membacanya. Jika Insomnia telah menjadi tren penyakit main-main pengguna smarthphone, maka sudah saatnyalah kita sebagai user mengnonaktifkannya kala beristirahat. Dan ini recommended bagi user-user yang seling berkeluh kesah dengan smartphonenya. Meskipun pemimpin redaksi pernah berkata kepada saya, “Wartawan dilarang mematikan hapenya,” tegas pimred. Tapi sesekali mencoba, boleh juga.

Tulisan ini terlahir sebagai keprihatinan terhadap budaya kita Indonesia yang memang sudah lama terkikis. Pahit. Indonesia memang kaya, tapi tak sekaya orang-orang yang mengakali kekayaan Indonesia. Kalimantan penuh batu bara, tapi batu baranya milik orang-orang di luar Kalimantan yang berinvestasi di Jakarta. Alhasil, yang menghancurkan bangsa kita bukan orang-orang di luar Nusantara, tetapi sudah ditanamkan dalam pendidikan yang menyalahi kaedah budaya sejak dini, atau bisa juga pemerintahan saat ini, serta pemikiran yang kadang salah arti. Alhasil kebenaaran saat ini belum tentu kebenaran esok hari. Selamat datang awal pekan, hari sibuknya orang-orang berprofesi untuk mencari makan.

Mari Beristirahat, Mari mematikan Smartphone

Purnama Kingdom 01.00 Wita, dalam Insya Allah yang dialunkan gitar Gambus grup Musik Debu