Lombok Exotic (Bagian Pertama)

Standar

Kurasa ini adalah tulisan biasa. Terlebih mereka yang senang berwisata. Apalagi sudah berkali-kali pergi dan menikmati indahnya Lombok dengan pantai dan pulau-pulau di sekitarnya. Ya, boleh dikatakan, pantai-pantai di Indonesia adalah surga bagi para turis. Dan ini adalah kali pertama saya mendapatinya. Pergi ke Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saya kira, tulisan ini bisa menjadi manfaat untuk sebagian orang, menjadi inspirasi beberapa orang. Atau bisa saja memuakkan, whatever-lah. Sing penting bisa berbagi cerita. Sing penting nulis. Itu aja.

Rinjani dan Gili Trawangan dari Balik Jendela Pesawat

Rinjani dan Gili Trawangan dari Balik Jendela Pesawat

Kesan pertama saat aku menengok tanahnya dari balik jendela pesawat, NTB memiliki tipe tanah yang tandus, gersang, cukup panas untuk ukuran pulau di luar Kalimantan. Well, saya berangkat dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan harus transit terlebih dulu di Bandara Juanda Surayabaya.

Aku berangkat beserta rombongan. Tentu akan berbeda dengan perjalanan traveler kebanyakan yang hanya beberapa orang atau sepasang kekasih saja. Atau backpacker yang senang berpetualang. Ada 30 orang se-pesawat. Belasan di antaranya adalah kawan-kawan wartawan dari media cetak dan elektronik. Sisanya pegawai. Sudah, pokoknya begitu saja.

Bandara International Lombok

Bandara International Lombok

Dari Bandara International Lombok, kami diarahkan seorang Guide yang banyak bicara (namanya juga guide) dan bercerita tentang sisi negatif dan positifnya tanah jajahan Bali. Mulai dari tipe masyarakatnya, kelakuan dalam berlalu lintas, sampai sejarah kerajaannya. But, saya tidak akan memaparkan itu dalam catatan perjalanan ini. Puaaanjaaang banget, bro! Buka Wikipedia saja.

Keinginan saya pribadi tak lebih untuk menambah koleksi foto perjalanan saya bersama sejumlah jam tangan di aku instagram. Maklumlah, secara saya wartawan yang juga penjual jam tangan. Hobinya pamerin jam tangan dengan latar belakang tempat yang berbeda-beda. Itu misi saya turut serta dalam agenda perjalanan ini. Jadi kalau banyak foto jam tangannya, tolong dimaklumkan saja. Oh iya, jangan lupa follow instagram saya, ya! @anandarumi2. Beberapa foto yang saya posting di tulisan ini menggunakan Canon EOS 700D, Lensa Tamron 10-24mm, Samsung Galaxy Camera EK-GC 100, dan Canon Ixus 105.

Pukul Sekitar pukul 11.30, perjalanan paling wajib adalah menuju Kantor Pemerintahan Kota Mataram. Di sana, para pegawai harus menunaikan hajatnya terlebih dahulu sebagai kunjungan kerja dan secara formal. Biasa, ngobrol, tukeran cinderamata, berfoto bersama, selesai. Dan resmilah rombongan kami menjadi tamunya Pak Walikota Mataram.

Ini taman yang saya maksudkan

Ini taman yang saya maksudkan

Sementara itu sedang berlangsung di dalam gedung kantor, saya berkesempatan untuk sekadar keluar dari Bus Wisata dan smoking sesaat. Tepatnya di taman samping Kantor Walikota Mataram. Setelah saya ketahui, taman itu namanya adalah Taman Sangkareang. Ada air mancur di tengahnya. Beberapa titik di sekitarnya juga terdapat beberapa fasilitas publik dan olahraga. Taman ini tepatnya bertetangga dengan pendopo Walikota Mataram. Acara formal selesai, ngobrol ngalur ngidul dan beberapa batang rokok sudah dimatikan, wisata pun dilanjutkan. Cabuuuuuutt!! Oh, iya, satu orang di antara kami tidak ikut, seorang gondrong jurnalis Duta Tv sudah meagendakan perjalanannya sendiri menuju Kampung Banjar di Mataram. Setelah pada akhirnya mengapa saya tidak mengikuti dia saja. Ah, sudahlah, nanti saya ceritakan.

Pendopo Walikota Mataram

Pendopo Walikota Mataram

Satu jam setelahnya, perjalanan dilanjutkan menuju taman Narmada. Di sinilah semua rombongan mulai berhamburan. Beberapa baju batik juga diganti dengan T-Shirt. Yang tadi tampak rapi mulai berhamburan. Eh, ada yang lepas jilbab juga. Ya, maklum sajalah, keluar kandang. Aku sih asik aja, nambahin koleksi foto seperti niat awal.

Taman Narmada terletak di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat atau sekitar 10 kilometer sebelah timur Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Taman yang luasnya sekitar 2 ha(hektar are) ini dibangun pada tahun 1727 oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Ngurah Karang Asem, sebagai tempat upacara Pakelem yang diselenggarakan setiap purnama kelima tahun Caka(Oktober-November). Selain tempat upacara, Taman Narmada juga digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja pada saat musim kemarau.

Taman Narmada

Taman Narmada

Nama Narmada diambil dari Narmadanadi, anak Sungai Gangga yang sangat suci di India. Bagi umat Hindu, air merupakan suatu unsur suci yang memberi kehidupan kepada semua makhluk di dunia ini. Air yang memancar dari dalam tanah(mata air) diasosiasikan dengan tirta amerta(air keabadian) yang memancar dari Kensi Sweta Kamandalu. Dahulu kemungkinan nama Narmada digunakan untuk menamai nama mata air yang membentuk beberapa kolam dan sebuah sungai di tempat tersebut. Lama-kelamaan digunakan untuk menyebut pura dan keseluruhan kompleks Taman Narmada.

Itu kolam pemandiannya

Itu kolam pemandiannya

(Terima Kasih Wikipedia… ^_^). Begitulah singkatnya. Katanya, ada kolam air awet muda di sana. Pengunjung yang masuk ke dalam pun wajib memakaio kain kuning yang dililitkan di tubuh. Ada yang memakainya untuk membasuh muka. Ada yang membasahi seluruh kepala. Beberapa kawan sempat memoto kawan yang lain ketika ia sedang memandang handphone, eh disangka serius banget sedang berdoa. Fotonya jadi barang bukti buat bahan bullying. Ada-ada saja. But, saya tak bisa menceritakan secara detail karena gak ikut masuk ke dalam. Ya, malas aja sih. Di luar sedang asik foto-foto. Ada pura. Ada kolam, eh… ada anjingnya juga nunggu di atas nangga. Mau balik badan turun tangga takut mencolok. Ntar dikira si anjing saya takut sama dia. Padahal  sih takut beneran. Untunglah, si anjing nyeloning saja turun tangga melewati saya. Sampai lah saya di depan pura pada undakan tanah yang paling tertinggi. Kata orang penduduk sini, Taman Narmada adalah perumpamaan atau miniature dari Gunung Rinjani. Makanya dibuat mendaki kayak gunung gitu. Ya gitu, deh pokoknya.

Itu kolam pemandiannya

Itu kolam pemandiannya

Kira-kira saya beserta rombongan menghabiskan satu jam hanya sekadar berfoto-foto dan mendengarkan ocehan guide. Maaf, ya, untuk perjalanan di hari pertama ini belum ada cerita pantai. Nanti di bagian kedua. Keep Folloe me, oke!

Banyak yang menawarkan sejumlah kerajinan tangan dari kerang dan T-Shirt Lombok di sekitar Taman Narmada. Termasuk Mutiara, sebagai salah satu batu mulia produk andalan Lombok. Yang dipuja-puja kaum jet set dan artis Hollywood. Tapi sudah diwanti-wanti oleh Guide kalau jualan di luar bukan mutiara asli, melainkan imitasi. Tapi, katanya, kalau sekadar untuk hiburan ya tidak apa-apa lah. Siapa juga yang tahu. But, sejak awak berangkat saya juga sudah diwanti-wanti dan bertekad kuat untuk tidak membeli apa pun. Kembali ke misi awal, hanya menambah koleksi foto saja. Titik.

Di Belakang Patung Ini Tempat Sumur Air Awet Muda, katanya

Di Belakang Patung Ini Tempat Sumur Air Awet Muda, katanya

“Yang belum masuk, angkat tangan!” ini joke paling standart dan rutin dilemparkan Guide kepada para rombongan setelah duduk dalam bus. Ya tentu saja tidak ada yang angkat tangan. Kalimat inilah yang selalu terlontar saat melanjutkan perjalanan hingga dua hari ke depan oleh, setelah saya ketahui, namanya Herman. Gak pake “Syah”.

Bus berangkat, dan inilah yang saya sayangkan. Seharusnya, kunjungan ke pura-pura-an itu cukup satu pura. Ya setidaknya di Narmada tadi sudah cukup. Beberapa kawan juga sudah terlihat lelah. Tapi lantaran paket wisatanya memang harus begitu, ya ngikut saja. Saya melupakan saja nama tempat kedua ini. Waktu sudah agak sore sekitar pukul 14.30 Wita. Selain pura yang entah saya tidak terlalu tahu namanya dan malas men-searching-nya di google, saya duduk di warung kopi terdekat bersama tiga orang sahabat. Satu fotografer, satu journalis Banjar Tv, satu Lurah, dan seorang lagi staf dari bagian Humas Protokoler. Jadilah kopi hitam. Apa sehh??>?>??>

Taman Narmada

Taman Narmada

Setidaknya cukup menyegarkan mata. Ya, sugestinya, kan gitu. Untunglah di belakang warung terdapat mushola yang jaraknya tidak terlalu jauh. Setelah kewajiban ditunaikan perjalanan dilanjutkan menuju Lombok Exotic. Kalimat ini sebenarnya sudah saya temukan di plafon Bus. Ternyata, Lombok Exotic juga menjadi salah satu prdoduk T-Shirt, Aksesoris, dan Souvernir resmi bikinan Lombok. Kalau Jogja, mungkin Joger kali ya?!?!?!?!

menyempatkan berfoto

menyempatkan berfoto

Sekali lagi, saya menahan diri untuk tidak membeli apa pun. Sebenarnya sih bukan akal-akalan, tapi emang benar buat menghemat. Gak nyangka, kalau nafsu belanja udah memuncak, kadang lupa berapa budget yang kita bawa. Meski khawatir, ternyata kekhawatiran saya sangat berguna dan tidak membuah penyesalan saat pulang ke kampong halaman. Nanti deh saya ceritakan.

Sebelum naik ke dalam bus lagi, saya yang pakai kemeja HItam Merah. Kok, Tangan lebih putih dari mukanya ya? bahaya nih.. efek matahari!

Sebelum naik ke dalam bus lagi, saya yang pakai kemeja HItam Merah. Kok, Tangan lebih putih dari mukanya ya? bahaya nih.. efek matahari!

Kembali ke dalam Bus setelah “Shoping Time” berakhir. “Buset, aku udah gak nyadar. Habis 500 ribu Cuma buat beli kaos doang,” ucap seorang sahabat saat masuk ke dalam Bus. Tuh, kan, apa kubilang. Kalau beli oleh-oleh untuk satu orang keluarga gak adil rasanya kalau yang lain gak dibelikan. Ujung-ujungnya nafsu belanja memuncak. Mending gak beli buat siapa-siapa sama sekali. Awalnya melihat-lihat ke dalam… sebutlah distro… saya kepingin juga beli celanda pendek ya siapa tahu buat mandi di pantai nantinya. Dan sandal jepit buat jalan-jalan santai. Siapa tahu! Eh, ternyata kita tak pernah tahu.

Tuh, Lombok Exotic, katanya.

Tuh, Lombok Exotic, katanya.

Bus berangkat. Beberapa orang juga sudah tertidur di dalam perjalanan. Ada juga yang mengeluh pengen buru-buru check in hotel. Ada yang ingin pup lah, kencinglah, mandilah, makanlah, macam-macam, pokoknya segala bentuk alasan dari jaman jabot dikelurin demi beristirahat.

ananda_para penjual aksesoriTahu-tahunya, peket wisata kembali menjadi kambing hitam. Herman mengaku sdah terlanjut memberitahu pihak hotel bahwa rombongan akan check-in habis setelah magrib. Dan perjalanan selanjutnya adalah ke toko mutiara yang asli. Asli bro, original. Ya, sebagai kaum Adam sih dengarnya biasa aja. Yang kaum hawa juga. Awalnya biasa-biasa saja. Sumpah. Malah gak kepingin sama sekali. Maunya ke hotel. Kekeuh banget.

“Ya sudah kalau gak ada yang beli gak apa. Yang penting kita berhenti dulu. Sekadar melihat-lihat. Karena rutenya memang sudah harus begitu. Lihat-lihat aja dan sekadar menambah wawasanlah, yang ini mutiara asli. Yang ini imitasi, jadi bisa tahu cirinya bagaimana. Dan yang di toko ini sudah bersertifikat.” Promo Herman.

Bus berhenti, Herman bersua. “Baik bapak ibu. Ini toko mutiara yang asli. Yang kepengen lihat silakan. Yang mau tetap di Bus juga tidak apa-apa. Sebentar saja. Kurang lebih setengah jam ya. Karena perjalanan menuju hotel juga masih jauh,” katanya.

jualan mutiara

jualan mutiara

Satu orang turun. Dua orang turun. Tiga orang, empat orang, dan akhirnya semuanya turun. Ya, daripada ketinggalan saya juga ikut turun. Kembali ke misi awal saja, nambahin koleksi foto. Padahal semua gadget sudah pada low bat. Biarlah, yang penting bisa smoking sejenak.

Suasana di dalam Distronya khas Lombok

Suasana di dalam Distronya khas Lombok

Semuanya menyebar. Dari segala penjuru mata angin. Dari yang banyak tanya sampai yang mulai menawar. Dari yang tanya harga sampai yang jaim. Singkatnya, saat balik ke dalam Bus, beberapa di antara mereka menenteng bug kecil tempat mutiara bersembunyi. Yah, akhirnya kebeli juga. Tuh, kan, gara-gara lihat, kan. Mata memang senang menjerumuskan.

coba tebak yang lagi ulang tahun yang mana hayo

coba tebak yang lagi ulang tahun yang mana hayo?

Perjalanan selanjutnya. Hanya kegelapan yang saya temui. Karena saya tidur. Dan bangun sudah di sebuah restoran. Di pusat keramaian. Hari sudah petang. Tempatnya cukup bagus diiringi musik tradisional yang nyaman. Sengaja lebih dulu diajak ke tempat makan dengan asumsi kalau sudah sampai ke hotel para tamu pasti sudah malas keluar-keluar karena sudah kelelahan.

cie bersih-bersih kolam pak

cie bersih-bersih kolam pak

Formasinya prasmanan. Semua makannya lahap. Dan ada kejutan perayaan ulang tahun juga kepada seorang Bapak. Ternyata ada kejutannya juga ya. Ternyata mereka juga menyiapkan kue ulang tahun kepada si bapak ini. Hehehe. Keren juga, ngerjain orangtua itu mengasyikkan. Mimik muka kagetnya itu lho… oh iya, saking tertawa-tawa saya pun hampir kelupaan harus mengabadikan moment tersebut. Akhirnya saya kebagian dokumentasi tiup lilin, salam-salaman, dan tepuk tangan.

Ini pemandangan di belakang hotel waktu pagi

Ini pemandangan di belakang hotel waktu pagi

Acara makannya sudah berakhir bro. Seperti biasa, keluar hotel kita mendapati lagi masyarakat yang jualan mutiara dan T-Shirt. Jarak restoran tak terlalu jauh dengan hotel yang kami tinggali. Hotel Bintang Senggigi namanya. Lumayanlah, ada kolam renangnya. Di sinilah penyesalan saya bermula, ternyata pihak hotel tidak menyediakan sandal. Sialan, hal ini membuat saya harus ke kios terdekat untuk membeli sandal jepit. Dan terbelilah sandal bermerek sky way di kios depan hotel. Dan satu lagi yang saya harus sesalkan, tidak etis rasanya kalau berenang dengan celana panjang. Shit! Kenapa saua tidak jadi membeli kolor tadi ya. Itulah kawan, tidak ada penyesalan yang datangnya di depan. Akhirnya saya berpikir, akan keluar malam ini dengan niat membeli celana pendek alias kolor untuk sekadar nyebur. Hiks!

Uniknya daerah Senggigi adalah, hampir semua bangunan hotel dibangun di bibir pantai. Jadi otomatis, buka pintu, bibir pantai di depan matamu. Deburan ombak dan pemandangan pasir putih pun menantimu setiap pagi. Tapi ini kan sudah malam ya. Brrrr… udaranya sangat dingin.

Aku mendapatkan kamar nomor 209 dan terpaksa harus bertiga. Itu juga setelah negosiasi dan bertukar teman kamar yang sejiwa dan “Rasuk Pamandiran” saya berkumpul dengan teman-teman dewasa muda dan para fotografer. Gak seru kalau harus satu kamar dengan orangtua. Gimana gitu.

Mandi ari hangat sudah. Beli sandal sudah, packing, nonton tv sebentar, dan  kamu berencana pergi keluar untuk sekadar mencari hiburan. Menggunakan taxi, pada permulaannya kami berangkat berdelapan. Namun karena seleksi alam, tinggal lagi berlima. Satu orang beralasan pulang karena mengantuk, dua orang lagi karena mau istirahat. ??? beda, ya?

Ada sebuah café di tengah keramaian Senggigi. Akkkhh… aku lupa namanya. Tapi yang malam kedua aku ingat kok. Nanti kuceritakan. Hampis semua tempat hiburan, Bar, Café, Pub, Bilyard, dan segalga tetek bengeknya dihuni oleh Turis. Kesannya, kita seperti orang asing. Kesannya kok ini kayak kampungnya mereka gitu. Sayang saya gak sempat memotret di sini, karena semua gadget sedang isi energi. Shit!

Kita yang singgah tampaknya seperti kayak orang asing. Itu sih perasaan saya saja. Apalagi menunya, Inggris semua. Aku pesan yang standar saja. Paling cappuccino dan cola. Dua teman saya, Sebut Umbu dan Yoyo berbadan besar dan doyan nge-Gym pesan tequila dan bir bintang. Dua orang cewek yang satu berbadan besar itu menghabiskan satu mangkok kentang goreng dan banana split. Dan teman cantik, berhidung mancung, berambut pirang, dan yang namanya mirip dengan anak saya ini minum Lemon Squash. Saya jadi ingat, memanggil namanya serasa memanggil anak saya sendiri. Aaaaahh, sudahlah, persoalan pribadi.

Pada intinya sih, kita makan gorengnya bareng aja sih. Tapi entah mengapa yang berperut besar selalu lebih banyak jatahnya. Sekitar pukul 01.30 dini hari. Café memang sudah tutup, tapi beberapa pengunjung memang dibiarkan saja selaur-larutnya berdiam menghabiskan minumnya. Mau tidur sekalian juga boleh. Bahkan, ada tersedia kamar-kamarnya juga. Ya, mungkin ada harga sewa. But, semua tamu di sini bule.

Malam yang cukup melelahkan, kami kembali ke hotel sekitar pukul 02.00. Singkatnya, aku bersiap tidur. Charge beberapa gadget persiapan besok paginya menuju pantai. Horrreee…. Gili Trawangan nama pulaunya. Beberapa kawan masih ada yang ngobrol di beranda kolam renang. Hari pertama, biasa saja. Selanjutnya, terserah saya. Bersambung…

 

Pantai Gili Trawangan, Ini foto bocorannya untuk postinganmendatang. Keep Follow Me, Ya!

Pantai Gili Trawangan, Ini foto bocorannya untuk postingan mendatang. Keep Follow Me, Ya!

 

 

Ketemu Hercules

Standar

Kali pertama ketemu Hercules. Maksudnya pesawat tempur Hercules ya. Kasiah banget gue. Padahal sebelumnya sih dah sering lihat juga di tv-tv. Tapi melihat dengan mata kepala sendiri dan masuk dengan kaki sendiri. Emang gak enak sih kalau masuk sambil gendongan!!!

Awalnya males banget keluar malam-malam. Tapi karena tugas adalah tugas, maka harus dilaksanakan. Landasan Udara Syamsudin Noor ternyata sedang melaksanakan latihan gabungan para pasukan penerjun elite dari semua angkatan. Baik itu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan tentunya TNI Angkatan Udara dong. Masa yang jelas-jelas bidang udara eh gak ikut mengudara.

Masuk daerah militer kalau gak ada alasan yang penting-penting banget itu bakalan menyusahkan diri sendiri. Birokrasinya berat bro! Selain musti ini musti itu. Kamu juga harus ngisi ini ngisi itu. (Apaan ya? Gaje banget). Terus udah itu, kamu bakalan disuruh mencari sendiri dimana tempat yang dimaksudkan. Boro-boro ditemenin.

Berdoa Sebelum Berperang

Berdoa Sebelum Berperang

Akhirnya, ketemu dengan humas lanud (kalau dalam AURI istilah Humas bisa disebut dengan penerangan atau kapentak). Kemudian aku dibawa menuju landasan terbang Syamsudin Noor Banjarmasin di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Di lokasi wartawan yang ada hanya berdua, aku dan rekan pers elektronik dari TVRI. Pas datang, kita berdua langsung disuruh untuk segera wawancara. Setelah menjelaskan alasan, tujuan, skenario, jumlah penerjun, kronologis, dan akhir dari harapannya, kami langusung meninjau ke lapangan. Ya gak jauh-jauh amat sih. Deket aja tinggal beberapa langkah dari tempat kita wawancara.

Bayangkan, sejumlah 127 prajurit elite gabungan itu harus nentengin tas ransel-ransel yang lebih berat dari kompor merk HOCK. Kurang tahu juga ya berapa berat Kg tuh ranselnya. Sebelum masuk ke bokong Pesawat Hercules yang fenomenal, (yang katanya cukup cepat untuk mengirim sejumlah soal UN SMA yang hampir terlambat beberapa waktu lalu).

Kasihan sih kasihan, tapi itu,ah prajurit. Kamu harus rela dijajah terlebih dahulu sebelum dijajah orang lain. Maksudnya bersikap mengabdi kepada Negara terutama atasan yang pangkatnya lebih tinggi.

“Gak pengen foto-foto, Mas!” Kata salah seorang fotografer AURI yang cukup akrab denganku.

“Emang boleh ya?”

“Ya boleh dong, masa gak boleh. Mas nya gak bilang sih, dikira malah gak pengen. Kan jarang-jarang ada kesempatan kaya gini,”

“Sebenarnya gak terlalu pengen juga. Cuma saya ragu-ragu,”

“Lho, kok ragu-ragu to,”

“Gak papa, trauma aja kalo pemberitaan antara AURI Vs Jurnalis beberapa waktu silam,” kataku sembari bergumam dalam hati. Ntar asal masuk asal jepret, eh si petugas nanti bisa asal tonjok. Hihihih, sekadar sedia payung sebelum hujan reda. Kita sebagai wartawan jadi takut juga.

Narsis Di Bokong Hercules

Narsis Di Bokong Hercules

Maka setelah itu, berfotolah saya di bokong pesawat Hercules C-130 yang gagah perkasa itu. Gak cukup sekali, saya difoto dua kali. Gak cukup sendiri, saya berfoto bersama rekan dari TVRI. Gak cukup bersama rekan pers, kami berfoto dengan prajuri yang ranselnya di depan dan di belakang. Kebayang kalau aku yang punya badan sekurus ini nentengi tu ransel. Gak usah dibayangkan deh lebih baik.

Mereka semua baik, segala apa-apa yang wartawan inginkan selalu dipenuhi. Ini juga tentunya menjadi awal yang baik sebuah hubungan dan jaringan yang berkesinambungan. Wartawan itu memang harus sok-sokan namun tetap sopan. Kata bos di kantor, (Pimred, maksudnya) “Sedikit pina musti tetap tetap sopan,” begitu.

Setelah semua prajurit siap ditempat yang sudah ditentukan, kita menuju ke tepi landasan untuk mengambil dan menyaksikan bersama take off pesawa Hercules tersebut. Awalnya sih sempat ditawarin juga. Tapi gak dulu deh, apalagi udah malam banget kan. Di langit kan, gak ada listrik. Ada sih listrik, tapi kenceng banget. Bising lagi. Suaranya listrik menggelegar dan mampu membuat suasana malam seperti siang. Walau hanya sekejap. Tapi menakuktan.

Cuaca memang sedang buruk, kata Komandan, jarak tempuh menuju Kaltim bisa jadi lebih dari satu jam. Latihan operasi militer gabungan itu sengaja dilaksanakan malam hari karena skenarionya latihan ini adalah operasi rahasian. Sebab, daerah yang didatangi sudah dikuasai oleh musuh. Jadi pasukan ini dikirim untuk membuka akses denga pertempuran disana. Di sana, (di dua lokasi yang mana mereka keseluruhannya akan diterjunkan) sudah stand by beberapa pasukan. Pokoknya begitulah ceritanya. Sampai wilayah berhasil diamankan oleh Angakatan Bersenjata Republik Indonesia. Merdeka.

Memasuki Hercules C-130

Memasuki Hercules C-130

Setelah data dan pengambilan gambar dirasa cukup. Kita masuk ke ruang tamu Danlanud Esron. Danlanudnya Syamsudin Noor yang baru nih, menggantikan Danlanud sebelumnya, Letkol Pnb M Mukshon. (Sempat menyayangkan juga, 2 tahun berkarier di jurnalis, sering ketemu dan bergaul serta berbincang dengan beliau, eh malah gak sempat foto bareng. Padahal sertijab beberapa waktu yang lalu adalah momentum yang pas untuk foto bersama. Tapi ya sudahlah, semoga di lain waktu jika aku berkesempatan ke Makassar diharusnya mampir ke AURI dan bertemu dengan Komandan Mukhson untuk menyelesaikan urusan kami yang belum terselesaikan, berfoto bersama. Itung-itung sebagai kenang-kenangan).

Kami disuguhkan nasi kotak dari restaurant Lombok ijo. Alhamdulillah, tadi berangkat aku gak sempat juga makan malam. Rejeki nih, gak boleh ditolak. Setelah kenyang, kita ngombrol sembari basa-basa menghabiskan sebatang rokok. Sembari banyak nanya. Aku sih berharap segelintir orang yang bergaul dengan kami rekan Pers gak bosan, abisnya, kalau ketemua banyak nanya mulu. Kepo banget sih jadi wartawan.

“Sebenarnya di AURI itu ada berapa jenis seragam, Ndan?” tanyaku.

“Sebenarnya ada empat. Kalau motif loreng yang saya pakai sekarang ini untuk lapangan. Kalau yang orange itu untuk tim teknis. Kalau dinas Harian yang warna biru langit itu. Beda lagi kalau acara besar ke militeran, mirip sih, tapi aksesorisnya lebih banyak,” paparnya yang saat itu memakai baju loreng hijau yang biasa kita lihat para tentara memakainya. Pokoknya yang biasanya kita tahu deh. Kalau gak tahu berarti gak biasanya dong.

Itu para AURI yang beseragam terusan berwarna Jingga atau bahasa kerennya Orange membuat saya trauma. Maksudnya gak trauma-trauma banget sih, tapi ingat kan? Pasti inget dong! di videonya wartawan Riau TV yang mana fotografer Riau Post pada main gulat dirumput setelah motret pesawat jatuh. Bahaya banget ya. (Kalau salah tolong dibeneri aja, agal lupa juga fotografer Riau Post, bukan?).

Setelah obrolan cukup, kita pamitan untuk pulang dan bersegera istirahat. Secara, besoknya atau lebih tepatnya hari ini kita para Pers harus siap-siap lagi buat Ujian Nasional. Yang ujian sih SD, tapi kita-kita ya harus ikut juga. Demi pemberitaan. Perlu gak perlu yang penting kita udah ngasih tau. Gitu tu komitmen surat kabar dan media elektronik.

Setelah menukarkan ID Card dengan di pos penjagaan, aku beranjak pulang dengan motor butut. Kusempatkan pula mampir ke kantor mengopy beberapa file foto dan membawa pulang Koran hari ini. Malam yang dingin, lalu lintas yang tenang, seonggok terang bulan special keju kubawakan untuk para rekan yang sedang bekerja di sekretarian EO tengah malam ini. Terutama beberapa snack dan minuman, untuk kekasihku yang merajuk dari tadi siang. []

 

Banjarbaru, Senin, 6 Mei 2013 02.00 Wita

Dengan alunan “Kangen” by Dewa 19

Budaya Kita Budaya Mereka

Standar

Baru pulang dari Banjarmasin. Meminang beberapa buku di antara kaum hawa yang memelas dan mewarnai tubuh mereka hitam putih. Kadang berambut panjang, kadang berlengan panjang. Begitulah suasana yang biasa kita jumpai di perkotaan. Terutama di mall-mall dan pusat pernbelanjaan modern.

Saya sudah berniat untuk tidak menulis panjang malam ini karena waktu berpikir sudah memangkas sebagiaan waktu istirahat saya. Tentunya berbeda dengan kaum hedonis yang tak mempersoalkan masa-masa sulit. “Yang penting happy!” begitu katanya.

Matahari siang tadi tidak terlalu memekik, meski awan sempat menyemburkan wisanya di pagi hari yang membuat kita ingin berlama-lama di atas ranjang. Di zaman era digital seperti sekarang, rasanya perangkat pintar atau gawai elektronik sudah menjadi kebutuhan primer. Bangun tidur pegang handphone, cek email atau mention. Kalau tak punya handphone, niscaya ketinggalan zaman dan informasilah ia. Bagi saya punya atau tidak punya itu tidak terlalu penting. Tetapi bagaimana orang-orang menggunakan gawai perangkat pintar itu sesuai kebutuhannya. Orang modern bilang, Gadget.

Bukannya iktu-ikutan, tapi profesi saat ini memang menuntut saya memiliki berbagai gadget yang mencukupi kebutuhan. Tak usah terlalu mahal yang penting memang berguna sesuai fungsi dan manfaatnya. Bukan untuk keren-kerenan.

Beberapa rekan saya seperjuangan pernah mengeluhkan. Katanya, gara-gara smartphone ia tidak bisa tidur cepat. Dan ia mengungkapkan hal itu seperti situs jejaring sosial semisal facebook, twitter, atau aktivitas di BlackBerry Mesangger (BBM). Menurut saya itu hal goblok yang lucu. Terang saja kalau mereka memang setia tak terpisahkan dengan gawai tersebut, dikala waktu istrahat dengan dering yang berkesinambungan atau getar yang mengejutkan membuat mata dan hati kadang tak bisa tenang. Ada email lah, ada inbox lah, ada mention lah, ada komentarlah, semua selalu di ada-ada. Bahkan kalau memang tidak ada pemberitahuan apa-apa kita justru membuat-membuatnya. Semisal membuat status cerdas, atau ngetwet kata-kata bijak. Atau megeluhkan sesuatu dalam aktivitas BBM. Semua selalu kita buat-buat untuk membuat kita semakin tak berniat memejamkan mata dan mengisitrahatkan otak.

Lebih lucunya lagi, terbangun di tengah malam karena sesuatu yang tidak mengenakkan malah diceritakan di status facebook. Misalnya, “Aduuuuh terbangun gara-gara sakit perut, jadi susah bobo deh,” katanya. Atau… “Mimpi buruk lagi. Seremnya bikin takut. Sulit memejamkan mata,” misalnya. Berikutnya, apa yang kita harapkan? Bukankah komentar? Mention? Perhatian? Responsif dari follower atau friends? Bagaimana bisa tidur kalau kita tidak berusaha menghindari hal itu semua. Pengguna smartphone memang terkadang lucu-lucu goblok.

Memberi pemikiran atau menyampaikan pendapat kepada orang lain memang tidak harus diterima mentah-mentah. Tentu kita harus mempnyai landasan luas untuk memfilter yang mana memang perlu kita pahami dan aplikasikan dalam keseharian kita. Sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Di era digital jaman sekarang, informasi sudah berlari dan terlalu cepat tersaji. Belum lagi mengedipkan mata datang lagi info yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Dalam hal pendidikan, orang tua yang mendidik di era sekarang mungkin lebih mudah dengan kepintaran anak-anaknya mengakses internet dan belajar apa-apa yang mereka ketahui. Tak perlu ke perpustakaan tua dimana tiap rak-raknya penuh dengan buku-buku berdebu pula. Di sisi lain, saya miris juga melihat peradaban drastis bangsa kita yang mulai mengikis budaya.

Jika boleh saya sebutkan, sekarang sudah jarang sekali ada permainan merakyat layaknya badaku, baasinan, susun batu, kelereng, layang-layang, main tali, balogo, bagimpar, bagasing, bekel, akraga, congkak, dhakonan, encrak, buta lele, adang-adangan, petak umpet, niokaluri, ketekhan, manuk kurung, bedil locok, pulu-pulu, atau permainan orang dewasa seperti calung, bahempas, no maca, caci, baleba, mappabendang, parise, bedil bambu, makepung, egrang, dan masih banyak lagi jenis permainan tradisional rakyat yang tersebar di seluruh Nusantara. Bukankah Negara kita terlalu kaya dalam konteks “budaya”.

Tetapi semua budaya kini mulai dikikis oleh budaya asing. Sebut saja K-Pop. Boyband dan girlband, gossip paling hot artis sedunia dan manca Negara paling update, fashion yang robek-robek dan setia nampang mengisi hari-hari televisi-televisi swasta. Meski terkadang TVRI juga ikutan demi kepentingan pasar.

Sedangkan permainan rakyat, nyaris seluruh permainan itu kini digantikan dengan permainan digital yang terstruktur dalam Operation System Play Station, OS Android, iOS, Nokia, Windows, RIM, PSP, dan beberapa perangkat lainnya dari vendor-vendor asing ternama Negara sana. Sono nooooh…!!! (Sembari mengacungkan jari telunjuk ke belakang)

Menelaah orang-orang yang hidupnya mengikuti trend gadget atau bergaya hidup digital seperti tersiksa. Soal teknologi selalu baru setiap bulan, ada juga yang setiap pekan, bahkan sudah ada yang update di tiap hari. Zaman memang sudah ‘edan’. Ah, masyarakat kelas menengah ke bawah malah mau ikutan! Siap-siap rogoh kocek tuh dompet sampai robek!

Lalu apa mereka salah? Saya tidak terlalu mengetahui itu. Silakan bertanya kepada mereka langsung. Beruntungnya, Indonesia masih mempunya regenerasi lulusan pesantren yang kuat Tauhidnya, kuat hapalannya, tidak tergoda tapi tidak ketinggalan juga. Dan juga masyarkat yang cerdas menggunakan teknologi tidak sedikit. Tak hanya pintar bicara tetapi juga pintar mengaplikasikannya. Dan wakil rakyat kita sudah melaksanakan tugasnya sebagai perwakilan. Rakyat ingin punya laptop canggih, sudah diwakili. Masyarakat ingin punya tablet, sudah diwakili. Masyarkat ingin punya smartphone, sudah diwakili. Masyarakat ingin punya mobil mewah, eh, mereka sudah mewakili. Alhamdulillah ya! (dengan logat Syahrini). Hanya kematian, kelaparan, dan kemisikinan yang mereka tak sanggup mewakili. Siapa juga yang mau?

Tampaknya saya menyalahi niat untuk tidak menulis panjang. Tidak fokus pula, melayang kemana-mana, setidaknya saya bisa orgasme ketika membacanya. Jika Insomnia telah menjadi tren penyakit main-main pengguna smarthphone, maka sudah saatnyalah kita sebagai user mengnonaktifkannya kala beristirahat. Dan ini recommended bagi user-user yang seling berkeluh kesah dengan smartphonenya. Meskipun pemimpin redaksi pernah berkata kepada saya, “Wartawan dilarang mematikan hapenya,” tegas pimred. Tapi sesekali mencoba, boleh juga.

Tulisan ini terlahir sebagai keprihatinan terhadap budaya kita Indonesia yang memang sudah lama terkikis. Pahit. Indonesia memang kaya, tapi tak sekaya orang-orang yang mengakali kekayaan Indonesia. Kalimantan penuh batu bara, tapi batu baranya milik orang-orang di luar Kalimantan yang berinvestasi di Jakarta. Alhasil, yang menghancurkan bangsa kita bukan orang-orang di luar Nusantara, tetapi sudah ditanamkan dalam pendidikan yang menyalahi kaedah budaya sejak dini, atau bisa juga pemerintahan saat ini, serta pemikiran yang kadang salah arti. Alhasil kebenaaran saat ini belum tentu kebenaran esok hari. Selamat datang awal pekan, hari sibuknya orang-orang berprofesi untuk mencari makan.

Mari Beristirahat, Mari mematikan Smartphone

Purnama Kingdom 01.00 Wita, dalam Insya Allah yang dialunkan gitar Gambus grup Musik Debu