Materi Caving

Standar

Tentang Caving

Disusun Oleh: Ananda Perdana Anwar

 

Susur gua atau jelajah gua (Inggris caving) adalah olah raga rekreasi menjelajahi gua. Tantangan dari olah raga ini tergantung dari gua yang dikunjungi, tapi seringkali termasuk negosiasi lubang, kelebaran, dan air. Pemanjatan atau perangkakan sering dilakukan dan tali juga diguanakan di banyak tempat.

Caving kadangkala dilakukan hanya untuk kenikmatan melakukan aktivitas tersebut atau untuk latihan fisik, tetap awal penjelajahan, atau ilmu fisik dan biologi juga memegang peranan penting. Sistem gua yang belum dijelajahi terdiri dari beberapa daerah di bumi dan banyak usaha dilakukan untuk mencari dan menjelajahi mereka. Di wilayah yang telah dijelajahi (seperti banyak negara dunia pertama), kebanyakan gua telah dijelajahi, dan menemukan gua baru seringkali memerlukan penggalian gua atau penyelaman gua.

Gua telah dijelajahi karena kebutuhan manusia untuk beberapa ribu tahun, namun hanya dalam beberapa abad terakhir aktivitas ini menjadi sebuah olah raga. Dalam dekade terakhir caving telah berubah karena adanya peralatan dan baju perlindungan modern.

Banyak keahlian dalam caving dapat digunakan di olahraga lain seperti penjelajahan tambang dan penjelajah perkotaan. Yakni SRT: single rope tachnic.

  1. 1 Gaya-gaya yang dipakai dalam SRT meliputi:
  2. Froglit Style: Style yang biasa dipakai oleh caver unakan satu tali. dengan satu kaki sebagai tumpuhannya serta satu kaki satunnya lagi menginjak footloop.
  3. Texas Style: Style yang dipakai dengan dua buah tali dengan bantuan alat pulley.
  4. Bisel : tehnik ini jarang dipakai oleh caver.

 

Satu set srt terdiri dari :

-2 Buah langkahbiner snap.

-3 Buah langkahbiner scru.

-1buah mr (million rapid).

-1buah autostop atau descender.

-2 Buah autostop simple.

-1buah jumar.

-1buah croll.

-2 Buah cowstell (terdiri dari cowstell pendek serta cowstell panjang).

 

  1. 2 Langkah-cara menempatkan alat-alat SRT:
  2. pakai harness terlebih dulu, upayakan catatan danger tertuput.
  3. masukan mr ( million rappid ).
  4. masukan croll upayakan croll dibagian yang sangat kanan.
  5. masukan costill serta upayakan cowstel terdapat dibagian yang sangat kiri.
  6. masukan 2 buah langkahbiner snap serta lagi scru.
  7. masukan otostop di langkahbiner scru serta upayakan letak otostop di dalam.
  8. pasang chess harness pada croll.
  9. pasang jumar pada cowstell yang panjang.
  10. pasang karabiner scru pada jumar yang dipakai untuk footlup.

 

Untuk jadi seorang caver mesti menguasai tekhnik-teckhik basic serta pengetahuan perihal caving itu sendiri, salah satunya yaitu :

Rigging: rigging yaitu langkah pemasangan dalam gua bergantung dengan ornamen serta type gua yang dapat di masuki.

SRT: srt yaitu langkah atau tehknik yang dipakai untuk menaiki statu gua dengan langkah spesifik di dalam srt itu sendiri juga ada beberaa langkah agar orang yang dapat menaiki senantiasa aman perumpamaan inter mediet, debíais, serta halangan.

Mapping: mapping yaitu pemetaan, di mana pemetaan ini yaitu statu langkah untuk tahu apa saja yang ada pada gua serta berapakah kedalaman gua dan tahu vegetasi apa saja yang ada pad agua tersebut.

Holling : holing yaitu statu langkah etahui type lubang yang ada pada ornamen gua tersebut dengan mengaplikasikan langkah apakah yang dapat digunakan.

  1. 3 Cara-Cara Pembuatan Angcor

Di dalam caving ada langkah atau cara-cara pembuatan angcor, angkor itu sendiri ada 3 angchor emas, perunggu, perak. ( standar angkor yang biasa dipakai 3 buah angckor ).

Langkah pemasangan angckor:

  1. menggunakan simpul playboy
  2. kemiringan verikal diusahakan 90-1300, namun standarnya 1100.
  3. back up belakang minimal ½ mtr..

Di dalam intermediat umumnya menggunakan simpul ½ delapan. di dalam srt pengaman minimal mesti ii buah pengaman. perumpamaan pengaman.

  1. cowstell pendek diletakan pada hanger.
  2. jumar mesti senantiasa menenpel jika croll dapat dilepaskan.
  3. autostop mesti terkunci jika jumar dapat dilepaskan.

 

Langkah mengunci autostop :

  1. jempol memegang tali karamentel statis dengan bentuk huruf c.
  2. lantas masukan tali karmentel sesuai dengan panduan yang ada pada autostop tersebut.
  3. masukan karamentel ke karabinel snap.
  4. lantas lingkarkan karamentel hingga terkunci tuasnya,
  5. masukan karamentel ke dua buah karabiner serta lantas lingkarakan kembali sehinga mengunci pada tuas kunciannya.

 

 

  1. 1 Deviasi

Didalam caving ada juga sebutan yang diberi nama dengan deviasi, deviasi itu sendiri yaitu satu langkah untuk meringankan caver agar tidak berlangsung benturan segera dengan tebing pada gua. langkah lakukan deviasi:

  1. pasang cowstil pendek pada ronga tali pada deviasi.
  2. copot langkahbiner debíais serta lantas pindahkan langkahbiner debíais pada tali karmentel di bawah croll.
  3. pasang jumar di bagian atas croll.
  4. lantas terlepas cowsil.

Yang menjadi tidak kalah penting dalam hal ini:

“janganlah dulu senang jadi orang yang terlatih, jadilah orang yang senantiasa berlatih”.

 

  1. 2 Pengertian dan Sejarah Penelusuran Gua ‘Caving’

Pengertian dan Sejarah Penelusuran Gua ‘Caving’ yakni Caving berasal dari kata Cave= Gua. Sedangkan orang yang menelusuri gua disebut caver. Jadi caving bisa diartikan sebagai kegiatan penelusuran gua yang mana merupakan salan satu bentuk kegiatan dari Speleologi. Sedangkan Speleologi secara morfologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu : Spalion = Gua dan Logos = ilmu. Jadi, secara harfiah Speleologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang gua, tetapi karena perkembangan speleologi itu sendiri, spleologi juga mempelajari tentang lingkungan disekitar gua.

Ada Beberapa Pengertian Penelusuran Gua “Caving’ menurut para ahli Penemu mamupun para Caver, yakni :

Menurut IUS (International Union of Speleology) anggota komisi X UNESCO PBB : “Gua adalah setiap ruang bawah tanah yang dapat dimasuki orang”.

Menurut R.K.T.ko (Speleologiawan) : “Setiap ruang bawah tanah baik terang maupun gelap, luas maupun sempit, yang terbentuk melalui system percelahan, rekahan atau aliran sungai yang membentuk suatu lintasan aliran sungai dibawah tanah.”

Adapun Sejarah Penelusuran Gua ‘Caving’, yang dimulai dari tahun ke tahun, yakni :

Penelusuran Gua dimulai oleh John Beaumont, ahli bedah dari Somerset, England (1674) ia seorang ahli tambang dan geologi amatir.

Orang yang paling berjasa mendeskripsikan gua-gua antara tahun 1670-1680 adalah Baron Johann Valsavor dari Slovenia. Ia mengunjungi 70 goa, membuat peta, sketsa dan melahirkan buku setebal 2800 halaman.

Joseph Nagel, pada tahun 1747 berhasil memetakan system perguaan di kerajaan Astro-Hongaria.

Stephen Bishop, pemandu wisata gua yang paling berjasa dan membawa gua Mammoth diterima UNICEF sebagai warisan dunia.

  1. 3 Etika, Moral dan Kewajiban Penelusuran Goa

Etika, Moral dan Kewajiban Penelusuran Goa tentunya hal yang sangt penting diketahui terlebihi dahulu oleh para Penelusur Goa. Mengapa hal tersebut dianjurkan dan sangat diutamakan, disebabkan banyaknya hal-hal yang belum diketahui dalam Kegiatan Caving ini. Apalagi bagi para penelusur Goa yang baru mengenal situasi saat Caving.

Ada beberpa hal yang perlu ditinjau dan diperhatikan dalam Etika, Moral dan Kewajiban Penelusuran Goa sebelum melakukan Caving, Ddisetiapa kegiatan Penelusuran Goa, dimanapun, Kapanpun dan siapapun itu, Yakni :

Kode etik penelusur goa  dibuat karena goa merupakan lingkungan yang sangat sensitif dan mudah tercemar. Kode etik ini antara lain :

TAKE NOTHING BUT PICTURE (Jangan Mengambil Apapun Kecuali Gambar)

LEAVE NOTHING BUT FOOTPRINT (Jangan Meninggalkan Sesuatu Kecuali Jejak)

KILL NOTHING BUT TIME (Jangan Membunuh/Memotong Sesuatu Kecuali Waktu)

CAVE SOFTLY

Setiap penelusur gua sadar bahwa setiap bentukan alam di dalam goa dibentuk dalam kurun waktu ribuan tahun.

Setiap menelusuri gua dan menelitinya dilakukan oleh penelusur gua dengan penuh respek tanpa mengganggu dan mengusir kehidupan biota di dalam gua.

Setiap penelusur menyadari bahwa kegiatan speleologi dari segi olah raga maupun ilmiah bukan merupakan usaha yang perlu dipertontonkan dan tidak butuh penonton.

Para penelusur tidak memandang rendah diantara sesama penelusur, begitu juga sebaliknya penelusur akan dianggap melanggar etika apabila memaksakan kehendaknya padahal persiapan kurang.

Respek terhadap sesama penelusur gua ditunjukkan dengan cara

Tidak menggunakan bahan / peralatan, yang ditinggalkan rombongan lain, tanpa izin mereka.

Tidak membahayakan lainnya, seperti melempar suatu benda ke dalam goa bila ada orang di dalam gua.

Tidak menghasut penduduk untuk menghalangi rombongan penelusur

Jangan melakukan penelitian yang sama, apabila diketahui ada rombongan lain melakukan penelitian yang sama tapi belum dipublikasikan.

Jangan menganggap anda penemu sesuatu apabila anda belum melakukan mencari informasi.

Setiap usaha penelusuran merupakan usaha bersama. (jangan menonjolkan kemampuan pribadi dan ingat bahwa penelusur adalah tim)

Jangan menjelekkan nama sesama penelusur.

  1. 1 Kewajiban penelusur goa

Menjaga lingkungan baik kebersihan, kelestariannya, dan kemurniannya menjadi hal wajib. Termasuk konservasi lingkungan gua merupakan tujuan utama penelusur goa. Maka dari itu wajib bagi para penelusur memberi pertolongan kepada penelusur lain apabila membutuhkan pertolongan sesuai dengan kemampuan. Yang terutama menjaga sopan santun dengan penduduk sekitar.

3.2 Izin Resmi

Wajib memberitahukan kondisi berbahaya pada penelusur lain tentang kondisi sekitar lingkungan goa atau di dalam goa.ananda_Orpala Kadipa

Novel Kebisingan Hati

Standar

Kebisingan Hati_Ananda Rumi_Thumbnail Cover ReszeAndra bingung memilih ide dari cerita romannya kali ini. Ia membuka folder lama yang tak terjamah. Di sana, ia menemukan kepingan kehidupan yang dulu pernah mewarnai kehidupannya saat bermusik.

Sang penulis lirik dari lagu-lagu mereka, Oliel, tak menyadari sesuatu hal. Sesuatu yang sebenarnya terjadi pada kehidupan di sekitarnya. Lirik yang ditulisnya menjadi suratan takdir. Takdir yang tak hanya membawa mereka dalam lika-liku perjalanan bahkan bebatuan penghalang. Membawa seorang perempuan di luar sana, Verda yang ketergantungan akan drugs.

Semua yang dituliskan menjadi petualangan baru garis-garis perjalanan band mereka. Dan siapa yang bisa menyangka isi dalam lirik tersebut adalah rahasia. Rahasia kehidupan mereka semua, tentang takdir yang dipilih, tentang kehidupan yang dijalani. Di sini, sejarah mereka dimulai, di Kota Banjarbaru.

Pesan melalui: http://nulisbuku.com/books/view_book/5599/kebisingan-hati

Perjuangan Di Haul ke-8 Guru Sekumpul

Standar
Ahmad Hafy Badali dan Muhammad Amin Badali putra Guru Sekumpul saat haul ke-8 yang dikelilingi para habaib, ulama, tokoh masyarkat, serta para pejabat tinggi daerah

Ahmad Hafy Badali dan Muhammad Amin Badali putra Guru Sekumpul saat haul ke-8 yang dikelilingi para habaib, ulama, tokoh masyarkat, serta para pejabat tinggi daerah

Penuh perjuangan. Itulah yang tersirat dalam pikiran saat aku menghadiri Haul ke-8 Al Alimul Alamah Asyekh KH Muhammad Zaini Abdul Ghani atau yang akrab disapa dengan Guru Sekumpul.

Pukul 17.30. Aku baru saja menyelesaikan beberapa tulisan untuk mengisi salah satu halaman koran. Setelah sebelumnya mengikuti kelas penulisan Novel bersama dua orang penulis Kalsel favoritku. Bagiku, menjelang petang merupakan waktu yang sudah terlalu terlambat untuk menghadiri haulan Guru Sekumpul. Karena seperti yang kalian ketahui, Pengajian beliau saja sudah beribu-ribu umat manusia yang menghadiri. Apalagi ketika beliau wafat, dan haulan-haulan dari 1 sampai ke 7 kalinya diadakan. Setiap tahun, jamaah yang berhadir selalu bertambah dan melebihi hitungan angka manusia.

Memakai kopiah haji, berbaju Taqwa berwarna hitam dan celana panjang yang juga warna hitam. Tas kamera berwarna hitam diselempangkan di pinggang. Bayangkan, seperti apa saya kelihatannya, seperti kotoran berkaki empat kah? Ya, mungkin saja. Tapi warnanya hanyar terbalik.

Suasana ratusan ribu jamaah yang memadati halaman belakang Musholla Ar-Raudhah Sekumpul Martapura

Suasana ratusan ribu jamaah yang memadati halaman belakang Musholla Ar-Raudhah Sekumpul Martapura

Lalu lintas memang sudah padat merayap. Panitia dan tim keamanan haul pun sudah berjaga-jaga di tiap persimpangan. Aku berangkat dari Banjarbaru Kota melewati jalan Sei Pering dan tembus ke Guntung Alaban Komplek Sekumpul Martapura. Sayangnya semua kendaraan bermotor harus berhenti di sini. Semua jamaah diharuskan berjalan kaki untuk menuju Musholla Ar-Raudhah. Aku memutuskan untuk memarkirkan kuda besi butut yang tak punya mata -karena lampu depannya rusak dan tidak menyala- ini parkir di halaman rumah orang. Rumah bedakan, yang diseberangnya rental penyewaaan mobil. Jarakanya masih cukup jauh untuk pejalan kaki memasuki sekumpul. Sekitar 1 Km.

Di persimpangan Jl Pendidikan sudah terlihat shaf-shaf rapi para jamaah yang sudah membaca shalawat sebelum adzan magrib berkumandang. Tidak menyangka, kukira seperti tahun sebelumnya, jam segini jalan Guntung Alaban setahuku belum dijadikan shaf-shaf tempat jamaah yang sholat. Karena tahun sebelumnya jamaah lebih banyak di belakang untuk mengikuti imam di Mushola Ar-Raudhah. Kalau di depan tentu tak bisa. Maka dari itulah sebagian jamaah memilih imam sendiri untuk sholat berjamaah di beberapa titik di depan Musholla.

Selanjutnya, aku bertemu dengan seorang yang sudah akrab denganku. Seorang politis yang juga tak jarang menjadi narasumber.

“Eh, kemana hibak sudah urangnya?” Ujarnya dengan maksud menyapa dan langsungg menarik lengan kananku. Namanya H Jumli, anggota DPRD Kota Banjarbaru yang tinggal di Kecamatan Cempaka. Saat itu, entah dengan anak atau keponakan, ia duduk di warung gorengan untuk sekadar menunggu adzan magrib berkumandang.

Eh, Om. Lawan siapa pian? Kada handak ke dalam, kah?”

“Mana lagi kawa ke dalam jam seini.”

“He en lah. Aja beduduk ai dulu setumat nah. Bekajal banar jua sudah tadi ulun.”

“Minumkah dulu? Pesan gin?”

“Kada, ulun beduduk setumat aja habis tu bekeraut pulang begamatan ka tangah situ,” kataku mengakhiri percakapan.

Ahmad Hafy Badali dan Muhammad Amin Badali putra Guru Sekumpul saat haul ke-8 yang dikelilingi para habaib, ulama, tokoh masyarkat, serta para pejabat tinggi daerah

Suasana shalat magrib berjamaah di Guntung Alaban saat penulis bertahan di salah satu kios

Aku duduk sejenak. Menarik nafas. Dan mengeluarkan kamera dalam tas yang berselempang. Aku memotret beberapa suasan jamaah yang duduk dengan zikir dan shalawat. Ada juga yang membaca Al-Quran atau melihat-lihat jamaah lain yang berlalu lalang. Frame demi frame telah kuambil. Setelah dirasa cukup, aku beranjak pergi untuk melanjutkan perjalanan yang berat. Jarak yang cukup dekat, namun harus ditempuh dengan hati-hati dan akurat. Karena kuyakin, akan banyak jamaah yang membenci orang sepertiku. Salah langkah, bisa saja kakiku menimpa kepala-kepala mereka.

“Permisi Om lah. Ulun harus bejalan ke tengah!”

“Oh, Silahkan! Kalau untuk liputan spot disini memang kurang cocok,” sahutnya sembari aku melanjutkan langkah perlahan.

Nah, aku akan berbagi tips untuk berjalan di sekumpulan orang-orang yang siap akan sholat. Sebenarnya ini tidak akan kulakukan kalau aku sekadar ingin hadir mengikuti semua amalan secara runtun, berdzikir, bershalawat, sholat berjamaah, dan membaca puji-pujian kepada Rasulullah. Tapi kali ini bukan tempo sewaktu aku masih Santri Pondok Pesanten Darussalam. Kali ini aku membawa tanggungjawab sebagai seorang bujangan yang berprofesi menjadi wartawan. Atau lebih tepatnya sebagai seorang Jurnalis, karena aku tak hanya diwajibkan menulis, tetapi juga memotret peristiwa, kejadian, atau apa saja yang berhubungan dengan ranah Jurnalistik lainnya. Tugas adalah tugas. Ibadah, tetap diniatkan.

Suasana shalat magrib berjamaah di Guntung Alaban saat penulis bertahan di salah satu kios

Suasana shalat magrib berjamaah di Guntung Alaban saat penulis bertahan di salah satu kios

Dengan kamera yang menggantung di antara ketiak sebelah kiri, aku perlahan melangkah kaki ke sajadah-sajadah para jamaah. Karena memang hamparan sajadah itulah satu-satu pijakan bagi kalian yang ingin berlalu lalang. Mungkin perjalananku baru sampai 100 meter namun sudah memakan waktu kurang lebih 15 menit. Bajuku basah karena keringat. Rasa lelah dan dahaga juga menghampiriku. Adzan magrib dari Mushollla Ar-Raudhah Sekumpul mulai menggetarkan setiap anggota badan. Beberapa jamah terlihat berdiri karena terlihat salah satu ulama, -entah siapa aku tidak melihat terlalu jelas- baru memasuki shaf dengan para protokoler panitia haul menuju mushala Ar-Raudhah. Setelah semua kembali duduk karena diperintah petugas, aku berhenti di salah satu kios portable atau lebih tepatnya gerobak dorong.

Hari menejelang gelap dan adzan sudah usai berkumandang. Kemudian para jamaah berdiri bersiap melaksanakan kewajiban. Sedangkan aku, terperangkap di antara mereka. Aku memang tak membawa sajadah. Karena tidak berniat untuk singgah atau konsisten di satu titik saja. Melainkan harus berjalan-jalan mencari spot yang bagus untuk menjadi berita. Pada akhirnya aku duduk di kios tadi dan menunggu sholat berjamaah usai. Sembari memotret mereka yang sedang khusyuk menghadap Tuhan dari berbagai sudut pandang.

Suasana shalat magrib berjamaah di Guntung Alaban saat penulis bertahan di salah satu kios

Suasana shalat magrib berjamaah di Guntung Alaban saat penulis bertahan di salah satu kios

Perjuangan tahap kedua dimulai. Setelah melepaskan kedua sandal, aku memasang tekad untuk bermuka tebal dan rasa permisi yang kuat. Sembari mengayunkan tangan di antara pundak-pundak mereka yang beramalan wiridan selepas Sholat Magrib. Mau bagaimana lagi, tak mungkin menunggu mereka semua berdiri. Tugas adalah tugas. Bagaimanapun caranya harus aku jalankan. Tetap dengan aksi penuh kehati-hatian. Melewati putih-putih umat Rasulullah dengan segala kelas umur. Tak peduli muda ataupun tua. Semua dilewati dengan rasa sedikit bersalah. Karena tidak datang lebih awal.

Akhirnya perjalanan lama itu ditunda sementara. Aku singgah di rumah Kak Abdil yang masih berkaitan keluarga. Bapak Zani kakak dari ayahku bersama Ibu Fifah sudah ada di dalam rumah. Tapi tak semudah itu. Pagar rumah memang telah dikunci karena halaman rumah juga sudah penuh dengan jamaah yang melaksanakan shalat berjamaah. Tak ada pilihan dan memanggil orang di dalam untuk membukakan pagar pun tidak mungkin. Singkatnya, aku masuk dengan meloncat pagar. Bayangkan berapa pasang mata yang focus melihat aksiku meloncat pagar. Ini bukan momentum konser music live lho, tapi acara keagamaan, haul Guru Sekumpul.

Suasana di depan paimaman Mushola Ar-Raudhah samping kubah Guru Sekumpul

Suasana di depan paimaman Mushola Ar-Raudhah samping kubah Guru Sekumpul

Dengan penuh perhitungan, tas pinggang dieratkan serta kedua sandal yang telah kulempar ke balik pagar. Aku meloncat. “Hap”, tak ada yang menangkap. Aku berhasil mendarat dan memasang kedua sandal. Dan perlahan, lagi-lagi, melewati jamaah yang masih wiridan hingga ke dalam rumah.

Hanyar ja kah? Jam berapa tadi tulak?” kata Kak Abidl menyapa.

Jam setengah enam Ka. Menuntungakan gawian dulu tadi sedikit,” jawabku.

“Beeeeeiiih… payahnya. Urang mun tulak haulan handak ke dalam tu sungsungi, jadi kada manggangu urang,” tutupnya kemudian menuju tempat beruwudhu. Dan segera aku juga menunuaikan sholat Magrib yang tertinggal dari jamaah lain.

**

“Bu, ulun langsung kaluar, amun bakaina sawat asrakal kada sampat mamutu!” itu kuucapkan setelah sebelumnya duduk di depan tv melihat tayangan langsung pembacaan Maulid Habsyi dari dalam Musholla Ar-Raudhah sekumpul.

Suasana di dalam Musholla Ar-Raudhah

Suasana di dalam Musholla Ar-Raudhah

Tampaknya tak perlu kuulang. Tapi tak apalah, tak ada melarang jika aku mendeskripsikan kembali. Karena inilah yang namanya perjuangan. Sampai di depan pagar, aku kembali melakukan perhitungan. Menghitung berapa langkah lagi aku melewati kepala-kepala dan membokongi para jamaah yang sedang khusyuk. Memang, perasaan bersalah itu singgah di dalam pikiran ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Kuletakan kedua sandal di balik pagar untuk menuju keluar. Aku melakukan aksi lompat pagar untuk kedua kalinya. Di antara layar tancap itu aku melangkah, meniti jemari di antara pundak jamaah. Sampai akhirya para penjaga menghadangku di depan pintu gerbang musholla Ar-Rhaudah.

“Kada boleh masuk Ding, sudah hibak!” ujarnya.

“Setumat aja ulun Bang, handak memotret di atas aja. Boleh ai kalu lah? Ulun wartawan.”

“Darimana?”

“Wartawan di Media, bang!”

“Mana ID Cardnya?”

???????????????????????????????Penjaga itu melirik ID Card pers di dada yang sedari awal masuk telah kukalungkan. Hanya agak tertutup tali atas sehingga harus kugeserkan agar tampak.

“Ya sudah. Masuk ja”

“Arah kemana menuju tangga naik ke atas tuh?”

“Terus aja arah ke pewudhuan. Habis tu kam belok kiri masuk ke ruangan. Disitu kam sudah behadapan tangga naik ke atas.”

Dengan memegang kedua sandal di dada, aku perlahan melangkah kembali melewati titik-titik kecil hamparan sajadah jamaah. Hingga memasuki ruangan yang dimaksudkan penjaga. Kedua sandal kuletakkan di bawah anak tangga pertama. Dan perlahan menaikinya. Sampai di lantai dua aku kembali melewati cara yang sama. Hanya saja karena lantainya sudah berkeramik jadi hanya sediki sajadah yang dihampar disana. Dan sampai lah aku ke pintu keluar lantai dua. Yang tak lain adalah atap Mushola Ar-Rhaudah Sekumpul Martapura.

**

???????????????????????????????“Eh, pian ni melelain pada nang lain. Urang baju putih-putih semuanya. Pian kenapa memakai warna hirang!” ujarku menyapa bercanda Joe, salah seorang rekan fotografer yang kutepuk pundaknya di sisi jendela. Padahal ini bukan perlakuan yang baik sesame fotografer. Yakni menepuk pundak saat si fotofgrafer sedang membidik. Bisa kehilangan momentum dia.

“Ah, sama haja, situ saraba hirang jua. Sampai ka salawar lagi. Lamun aku baju aja. Salawarnya levisnya warna biru,” jawabnya sembari tawa kecil kawan-kawan di antara bacaaan rawi Maulid. Kurang beradab. Tapi yakin saja, suara kami tidak akan sampai ke dalam Musholla.

Aku mengeluarkan kamera, mengambil beberapa frame dan momentumnya. Sembari menyahut beberapa shalawat yang dilantunkan Ahmad Hafy Badali dan Muhaamad Amin Badali, keduanya adalah putra Guru Sekumpul.

???????????????????????????????Muhammad Amin yang berdagu seperti lebah bergantung, mewarisi perwajahan yang sangat mirip dengan ayahnya. Suara, gerakan bibirnya saat membaca huruf-huruf hijayah, tatapan mata, dan perawakannya yang kini telah beranjak dewasa. Mata yang penuh dengan tatapan kedalaman ilmu dan cahaya itu juga diwariskan kepada Ahmad Hafy, keterampilan, kehalusan kulit, dan gerak-gerik sang Guru hadir dalam diri keduanya. Keberadaan Amin dan Hafy seaolah-olah menjadi obat rindu para jamaah kepada Guru Sekumpul. Tak ada yang pernah bisa mendeskripsikan kebaikan rupa dan kemuliaan kedua putra Guru Sekumpul, karena nyatanya, melebihi apa-apa yang tersirat dan tersurat. Sang pewaris Quthbul Gauz.

Di atas sini kurang lebih ada 6 fotografer yang sebagian sudah saling mengenal. Dan di antara ada dua wartawan televisi lokal Kalsel yang meliput kegiatan sejak tadi sore. Mereka memang telah datang lebih awal.

???????????????????????????????Beberapa momentum pembacaan syair maulid, asrakal, sudah kita laksanakan. Beberapa frame foto juga sudah kami ambil dengan seksama dan cukup untuk pemberitaan masing-masing media cetak dan elektronik. Sejenak, kami kadang merasa beruntung karena sedikit lebih leluasa bergerak dan melihat-lihat langsung suasana di dalam Musholla. Namun bukan berarti karena telah difasilitasi oleh panitia kami rekan pers bisa semena-mena. Sesekali tetap larut dalam alunan dzikir dan shalawat yang dibaca ratusan ribu jamaah sana. Menurutku, haul kali ini lebih banyak jamaah yang datang serta lebih terkoodinir dengan solid oleh panitia. Kerja keras panitia pasti terbayarkan dengan barokah pahala yang tak pernah terhitung oleh manusia.

Setelah pembacaan Maulid Al Habsyi dilanjutkan dengan Dzikir Nasyid. Berbeda dengan tahlilan biasa. Ada dua regu yang berdzikir dengan kalimat berbeda, beberapa guru pesantren yang memang sudah dikenal dengan sebutan penyairan maulid melantunkan syair yang juga khusus untuk Dzikir Nasyid. Kemudian jamaah menyahut dengan Dzikir Tahlil. Kalimatnya berbeda beda, di Syair pertama jamaah menyahut dengan Lailahailallah. Sedangkan di dzikir kedua jamaah berucap A hu A hu Allah beberapa kali sesuai ketukan syair. Begitulah. Dan ratusan ribu jamaah itu juga harus bergerak senada dengan dzikir ke kiri dan kanan. Salah gerak sekali atau seorang saja, kepala bisa terantuk jamaah di sebelah. Apalagi jika salah satunya menggoyangkan kepala dengan kencang. Coba.

ananda_haul guru sekumpul ke-8 di Komplek Ar Raudah Sekumpul Martapura19Aku melihat hamparan jamaah dalam shaf-shaf yang teratur di bawah. Seperti suasana Masjidil Haram. Yang pernah kulihat dalam televise-televisi Arab Saudi. -Karena memang aku belum berhaji. Tapi niat itu ada. Dan yakin sajalah, rejeki ke sana pasti ada. Hanya saja Allah mengatur waktu yang tepat). Dalam momentum ini, saya merinding. Memang pada momentum ini saya tidak ikut berdzikir berduduk bertelempoh seperti jamaah lainnya yang berada di bawah. Tetapi memotret dengan teknik slow shoot agar menghasilkan efek gerak pada bingkai kamera. Sesekali saya menikmati alunan tubuh yang berdzikir itu. Layaknya gelombang air laur yang berirama teratur dan perlahan. Meneduhi segala pikiran dan ingatan akan kegemerlapan dunia. Semua hilang, hilang dalam kefanaan. Melainkan hanya satu. Kepada Nya.

???????????????????????????????Aku berdiri sembari menyandarkan kedua tangaku di pinggiran atap mushola yang bentuknya seperti plang nama nisan di kuburan muslimin. Di atas lampu neon hijau tulisan arab Mushola Ar-Raudhah. Melihat raut muka jamaah yang terpejam, terlarut, yang mabuk akan mengingat Tuhannya. Tiba-tiba getaran itu terasa dari dinding-dinding mushola. Suara “Hu” yang keluar dari ratusan ribu jamaah membuat atap-atap, dinding dan kaca mushola bergetar. Itu kurasakan setelah tanganku betul-betul memegangnya. Lalu aku bergumam, begini ternyata dahsyatnya dzikir yang dilakukan ratusan ribu kepala manusia. Bahkan aku yakin sekali, semua benda mati baik itu dinding rumah, pepohonan, tumbuhan, sampai segala pojok ruang yang ada di komplek sekumpul malam ini bergetar, turut berdizikir. Dan tentunya akibat gelombang suara “Hu” yang serempak. Itu semua terjadi. Betapa dahsyatnya gelombang suara manusia jika digabungkan. Sungguh sangat luar biasa. Ah, sungguh, aku terenyuh saat momentum ini. Sampai semua hilang tenang dan tentram saat dzikir terakhir diiringi shawalat kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Rasululullah SAW.

???????????????????????????????Semua amalan telah dilaksanakan. Juga doa haul khususnya kepada Guru Sekumpul. Tinggal lagi Adzan untuk segera melaksanakan shalat berjamaah. Aku bersama Om Oneal, seorang fotografer ternama dari Banjarmasin berinisiatif untuk turun terlebih dahulu. Karena konsekuensinya, jika memang bertahan sampai akhir shalat Isya berjamaah, lebih baik sekaligus saja. Karena kurang nyaman jika kau memutuskan untuk berjejal-jejal. Tapi, proses itu memang harus dilalui. Seakan kita memang tak diberikan pilihan.

Keluar Musholla dengan cara yang sama. Aku berjalan di depan Om Oneal mencari-cari alur jalan yang sedikit terlihat tidak terlalu padat. Setidaknya menyisakan setapak ruang untuk jamaah yang memilih keluar. Syukurlah. Sampai kami berdua di Guntung Alaban, Iqamah usai berkumandang.

“Pian ni sengaja kada besandal kah tadi masuk ke dalam?” tanyaku kepada Om Oneal.
“Kadanya pang, sandalku di parak gerbang langgar. Tapi kada mungkin lagi jua aku maambil bacacarian, biar aja sudah barilaan,”
sahutnya.

Beberapa shaf di sebalah kanan kami sudah mengangkat takbir. Untungnya di alur sebelah kiri pinggir jalan tersedia untuk para jamaah yang keluar. Tapi tak boleh diserobot. Langkah para jamaah juga harus satu senti satu senti. Salah langkah bisa tercebur ke comberan selokan. Jadi harus antri, seperti membeli BBM di SPBU.

Akhirkanya aku terlepas dari sesak dan jejal berbagai macam aroma. Aku berjalan perlahan menuju kuda besi yang telah kuparkirkan di rumah penduduk yang jaraknya masih kurang lebih 1 Km. Jaraknya itu tak akan terasa jauh jika kalian menjalaninya bersama dengan banyak orang. Dan beramai-ramai seperti saat ini.

**

Malam semakin larut, semakin dingin, dan awan tampak lebih gelap dari sebelumnya. Beberpa “U Turn” Jalan Ahmad Yani ditutup demi kelancaran lalu lintas. Tak berlama-lama karena lalu lintas keluar juga belum terlalu padat, aku telah sampai di sekretariat kawan-kawan, Onoff Solutindo Project. Bergegas membuka komputer dan menyambungkannya ke internet. Karena kantor redaksi memang sudah menunggu hasil setoranku di malam ini. Malam perjuangan penuh berkah. Penuh keringat dan lelah. Di luar hujan turun deras sekali. Aku merebahkan diri sembari menarik nafas panjang relaksasi. Rasa syukur kuucapkan dan segera beristirahat usai melaksanakan kewajiban. Untuk kembali menemui hari yang sama dengan cerita berbeda. Dan menyaksikan hasil fotoku terbit besok di halaman depan koran. Barakallah, Allahuma Yarham, Al Alimul Alamah Syekh Zaini Abdul Ghani Sekumpul Martapura.[]

???????????????????????????????

Ketemu Hercules

Standar

Kali pertama ketemu Hercules. Maksudnya pesawat tempur Hercules ya. Kasiah banget gue. Padahal sebelumnya sih dah sering lihat juga di tv-tv. Tapi melihat dengan mata kepala sendiri dan masuk dengan kaki sendiri. Emang gak enak sih kalau masuk sambil gendongan!!!

Awalnya males banget keluar malam-malam. Tapi karena tugas adalah tugas, maka harus dilaksanakan. Landasan Udara Syamsudin Noor ternyata sedang melaksanakan latihan gabungan para pasukan penerjun elite dari semua angkatan. Baik itu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan tentunya TNI Angkatan Udara dong. Masa yang jelas-jelas bidang udara eh gak ikut mengudara.

Masuk daerah militer kalau gak ada alasan yang penting-penting banget itu bakalan menyusahkan diri sendiri. Birokrasinya berat bro! Selain musti ini musti itu. Kamu juga harus ngisi ini ngisi itu. (Apaan ya? Gaje banget). Terus udah itu, kamu bakalan disuruh mencari sendiri dimana tempat yang dimaksudkan. Boro-boro ditemenin.

Berdoa Sebelum Berperang

Berdoa Sebelum Berperang

Akhirnya, ketemu dengan humas lanud (kalau dalam AURI istilah Humas bisa disebut dengan penerangan atau kapentak). Kemudian aku dibawa menuju landasan terbang Syamsudin Noor Banjarmasin di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Di lokasi wartawan yang ada hanya berdua, aku dan rekan pers elektronik dari TVRI. Pas datang, kita berdua langsung disuruh untuk segera wawancara. Setelah menjelaskan alasan, tujuan, skenario, jumlah penerjun, kronologis, dan akhir dari harapannya, kami langusung meninjau ke lapangan. Ya gak jauh-jauh amat sih. Deket aja tinggal beberapa langkah dari tempat kita wawancara.

Bayangkan, sejumlah 127 prajurit elite gabungan itu harus nentengin tas ransel-ransel yang lebih berat dari kompor merk HOCK. Kurang tahu juga ya berapa berat Kg tuh ranselnya. Sebelum masuk ke bokong Pesawat Hercules yang fenomenal, (yang katanya cukup cepat untuk mengirim sejumlah soal UN SMA yang hampir terlambat beberapa waktu lalu).

Kasihan sih kasihan, tapi itu,ah prajurit. Kamu harus rela dijajah terlebih dahulu sebelum dijajah orang lain. Maksudnya bersikap mengabdi kepada Negara terutama atasan yang pangkatnya lebih tinggi.

“Gak pengen foto-foto, Mas!” Kata salah seorang fotografer AURI yang cukup akrab denganku.

“Emang boleh ya?”

“Ya boleh dong, masa gak boleh. Mas nya gak bilang sih, dikira malah gak pengen. Kan jarang-jarang ada kesempatan kaya gini,”

“Sebenarnya gak terlalu pengen juga. Cuma saya ragu-ragu,”

“Lho, kok ragu-ragu to,”

“Gak papa, trauma aja kalo pemberitaan antara AURI Vs Jurnalis beberapa waktu silam,” kataku sembari bergumam dalam hati. Ntar asal masuk asal jepret, eh si petugas nanti bisa asal tonjok. Hihihih, sekadar sedia payung sebelum hujan reda. Kita sebagai wartawan jadi takut juga.

Narsis Di Bokong Hercules

Narsis Di Bokong Hercules

Maka setelah itu, berfotolah saya di bokong pesawat Hercules C-130 yang gagah perkasa itu. Gak cukup sekali, saya difoto dua kali. Gak cukup sendiri, saya berfoto bersama rekan dari TVRI. Gak cukup bersama rekan pers, kami berfoto dengan prajuri yang ranselnya di depan dan di belakang. Kebayang kalau aku yang punya badan sekurus ini nentengi tu ransel. Gak usah dibayangkan deh lebih baik.

Mereka semua baik, segala apa-apa yang wartawan inginkan selalu dipenuhi. Ini juga tentunya menjadi awal yang baik sebuah hubungan dan jaringan yang berkesinambungan. Wartawan itu memang harus sok-sokan namun tetap sopan. Kata bos di kantor, (Pimred, maksudnya) “Sedikit pina musti tetap tetap sopan,” begitu.

Setelah semua prajurit siap ditempat yang sudah ditentukan, kita menuju ke tepi landasan untuk mengambil dan menyaksikan bersama take off pesawa Hercules tersebut. Awalnya sih sempat ditawarin juga. Tapi gak dulu deh, apalagi udah malam banget kan. Di langit kan, gak ada listrik. Ada sih listrik, tapi kenceng banget. Bising lagi. Suaranya listrik menggelegar dan mampu membuat suasana malam seperti siang. Walau hanya sekejap. Tapi menakuktan.

Cuaca memang sedang buruk, kata Komandan, jarak tempuh menuju Kaltim bisa jadi lebih dari satu jam. Latihan operasi militer gabungan itu sengaja dilaksanakan malam hari karena skenarionya latihan ini adalah operasi rahasian. Sebab, daerah yang didatangi sudah dikuasai oleh musuh. Jadi pasukan ini dikirim untuk membuka akses denga pertempuran disana. Di sana, (di dua lokasi yang mana mereka keseluruhannya akan diterjunkan) sudah stand by beberapa pasukan. Pokoknya begitulah ceritanya. Sampai wilayah berhasil diamankan oleh Angakatan Bersenjata Republik Indonesia. Merdeka.

Memasuki Hercules C-130

Memasuki Hercules C-130

Setelah data dan pengambilan gambar dirasa cukup. Kita masuk ke ruang tamu Danlanud Esron. Danlanudnya Syamsudin Noor yang baru nih, menggantikan Danlanud sebelumnya, Letkol Pnb M Mukshon. (Sempat menyayangkan juga, 2 tahun berkarier di jurnalis, sering ketemu dan bergaul serta berbincang dengan beliau, eh malah gak sempat foto bareng. Padahal sertijab beberapa waktu yang lalu adalah momentum yang pas untuk foto bersama. Tapi ya sudahlah, semoga di lain waktu jika aku berkesempatan ke Makassar diharusnya mampir ke AURI dan bertemu dengan Komandan Mukhson untuk menyelesaikan urusan kami yang belum terselesaikan, berfoto bersama. Itung-itung sebagai kenang-kenangan).

Kami disuguhkan nasi kotak dari restaurant Lombok ijo. Alhamdulillah, tadi berangkat aku gak sempat juga makan malam. Rejeki nih, gak boleh ditolak. Setelah kenyang, kita ngombrol sembari basa-basa menghabiskan sebatang rokok. Sembari banyak nanya. Aku sih berharap segelintir orang yang bergaul dengan kami rekan Pers gak bosan, abisnya, kalau ketemua banyak nanya mulu. Kepo banget sih jadi wartawan.

“Sebenarnya di AURI itu ada berapa jenis seragam, Ndan?” tanyaku.

“Sebenarnya ada empat. Kalau motif loreng yang saya pakai sekarang ini untuk lapangan. Kalau yang orange itu untuk tim teknis. Kalau dinas Harian yang warna biru langit itu. Beda lagi kalau acara besar ke militeran, mirip sih, tapi aksesorisnya lebih banyak,” paparnya yang saat itu memakai baju loreng hijau yang biasa kita lihat para tentara memakainya. Pokoknya yang biasanya kita tahu deh. Kalau gak tahu berarti gak biasanya dong.

Itu para AURI yang beseragam terusan berwarna Jingga atau bahasa kerennya Orange membuat saya trauma. Maksudnya gak trauma-trauma banget sih, tapi ingat kan? Pasti inget dong! di videonya wartawan Riau TV yang mana fotografer Riau Post pada main gulat dirumput setelah motret pesawat jatuh. Bahaya banget ya. (Kalau salah tolong dibeneri aja, agal lupa juga fotografer Riau Post, bukan?).

Setelah obrolan cukup, kita pamitan untuk pulang dan bersegera istirahat. Secara, besoknya atau lebih tepatnya hari ini kita para Pers harus siap-siap lagi buat Ujian Nasional. Yang ujian sih SD, tapi kita-kita ya harus ikut juga. Demi pemberitaan. Perlu gak perlu yang penting kita udah ngasih tau. Gitu tu komitmen surat kabar dan media elektronik.

Setelah menukarkan ID Card dengan di pos penjagaan, aku beranjak pulang dengan motor butut. Kusempatkan pula mampir ke kantor mengopy beberapa file foto dan membawa pulang Koran hari ini. Malam yang dingin, lalu lintas yang tenang, seonggok terang bulan special keju kubawakan untuk para rekan yang sedang bekerja di sekretarian EO tengah malam ini. Terutama beberapa snack dan minuman, untuk kekasihku yang merajuk dari tadi siang. []

 

Banjarbaru, Senin, 6 Mei 2013 02.00 Wita

Dengan alunan “Kangen” by Dewa 19

Kucing Betina dan 4 Anaknya

Standar

Dear Blog, sayang rasanya jika yang aku alami dini hari ini tidak abadi. Kembali ke laptop. Baru saja balik dari kamar mandi setelah buang air kecil. Buru-buru mencari minyak kayu putih untuk mengoleskan ke dua jari kaki kanan yang bengkak akibat digigit “King of The Bugs”. Atau orang Banjar bilang; “Salimbada”.

30 menit yang lalu. Aku memang sudah lama duduk di depan laptop sambil memperbarui beberapa blog yang saya kelola. Sembari minum, beberapa batang rokok juga telah berkurang dari bungkusnya. Karena sudah terlalu banyak minum otomatis saya juga harus membuangnya. Berangkatlah saya menuju toilet.

Namun, hasrat saya tertunda ketika satu langkah keluar dari ruangan. Ruangan ini lebih mirip ruang kelas sekolah. Memang ini sebelumnya ruang kelas belajar yang telah dibongkar menjadi seperti kantor percetakan, lebih tepatnya secretariat Event Organizer (EO).

Otomatis ketika keluar dan melangkahkan kaki pertama, yang diinjak adalah tanah. Suasana malam ini agak sedikit lembab karena hujan baru saja beranjak. Tinggal lagi beberapa dedauan yang berembun dan tanah lembek akibat deburan angin dan air. Semut besar yang berwarna hitam pun bermunculan karena udara dingin itu. Mereka berjalan-jalan berbaris-baris entah kemana berkumpul di tumpukan bata bekas yang tak lagi terpakai.

Namun, ada yang menunda langkahku ketika mendengar suara itu. Ya, suara anak kucing yang gelombangnya masih kecil sekali. Aku yakin, ini adalah anak kucing yang baru dilahirkan. Atau kucing betina yang baru saja dilahirkan. Keinginanku bergegas ke toilet ditunda sementara. Sampai ku menemukan dimana suara itu berasal.

Tak terlalu membutuhkan waktu lama menemukanya, mungkin kurang lebih semenit. Mata kucing betina yang berkaca-kaca dengan warna bulu kuning kejingga-jinggaan berhias putih bersih tampak menatapku takut. Di antara selangkangan dua tanganya terlihat bayi kucing kecil, imut, menyedihkan, yang tampak urakan karena tanah-tanah gembur itu meliputi sejumlah kaki, tangan, dan perut bayi mungil itu.

Si Kucing betina mengeong takut kepadaku. Mungkin takut jika buah hatinya direbut. Atau bisa juga keamanannya terancam. Ia mengeong keras. Aku merapatkan tangannku dan mengusap ke kepala kucing betina itu. Dia mulai meredam dan mendiam. Di antara kayu yang lembab dan gelap, hanya cahaya lampu pijar di ujung kelas sana.

Sejenak aku menemukan seekor bayi mungil itu dan perlahan mengangkatnya ke papan yang lapuk dari tanah gembur. Tubuhnya berlumpur. Kemudian satu lagi kuangkat. Dan satu bayi terakhir yang berada dihimpitan bata lebur bercampur tanah. Kasian sekali. Si betina hanya menyaksikan, mengeong, kemudian menjilati anaknya yang sudah kuletakkan di tempat yang cukup hangat. Aku beranjak masuk kembali ke dalam ruangan kantor mengambil beberapa lembar Koran untuk menjadi lantainya sekadar menahan dingin dan menciptakan hangat yang sedikit. Kemudian aku berpikir. Jika dalam kondisi transparant seperti demikian, kamanan dan kelangsungan hidupnya pasti akan lebih terancam oleh kucing jantan yang sering berseliweran di sekitar sini.

Aku berusaha mencari jenis kotak kardus apa pun itu. Kubongkar lemari dan menemukan kardus yang berisi tumpukan kertas. Ku pindah semua kertas tersebut ke sisi lain laci lemari kubawa keluar dan langsung memasukkan satu persatu bayi itu kedalam kotak. Sembari memekik beraduh, karena tanpa sadar, kaki kananku dikerubuti semut besar hitam itu. Sudahlah, untuk sementara kutahan sakit ini sembari menyapu agar kerubutan semut ini pindah. Setelah 3 bayi kecil itu masuk ke dalam kotak aku berlari ke pojok kelas dan meletakkannya di sana. Ku lihat kucing betina pun berlari mengikutiku untuk kembali melihat keadaan anak-anaknya di dalam kardus segi empat yang telah kulapisi dengan tumpukan kertas koran.

Si Kucing Betina ku angkat dan kumasukkan ke dalam kota agar ia segera menyusi ketiga anaknya. Kedua matanya berbinar, entah, seakan mengucap terima kasih atau bagaimana maunya. Sekekali mengeong keras. Namun, aku bingung, suara bayi itu terbagi dua. Seolah-olah bergema dan masih ada di tempat sebelumnya.

Ternyata benar, suara bayi itu masih ada antara serpihan bata dan tanah lembur itu. Si betina juga keluar dari kotaknya dan mengeong ke arah tempat yang kumaksud. Kembali aku berlari ke tempat itu untuk menacari dimana satu bayi lagi yang tertinggal. Aku sengaja berlari karena menghindari kerumunan semut hitam besar berjejal di antara kisi-kisi tanah rerumputan serpihan bata bekas.

Aku mencari namun tak menemukan. Karena memang tak melihat apa-apa hanya mendengar suaranya, aku relakan tanganku untuk meraba ke tanah berharap jariku menyentuh tubuh bayi yang menyedihkan itu. Tapi tak ada yang kusentuh apalagi kutemukan.

Tak ada cara lain, tumpukan serpihan kayu, bata, dan tentunya tanah gembur itu aku gali. Beberapa bata aku angkat, dan akhirnya… aku menemukannya terguling dengan tanah. Tubuhnya yang berbulu putih berlumuran tanah. Kasihan. Aku angkat dia dan kembali berlari menuju kotak kardus. Kemudian meletakkannya. Si kucing betina memasuki kotak dan mulai menyusui sembari menjilati tubuh ke empat buah hatinya yang masih merah itu.

Sejenak aku menatap, melihat binar matanya seperti lebam dan berkaca-kaca. Suaranya perlahan mengeong mendesir memecah kesunyian malam. Ingin rasanya kubawa ke dalam ruangan, namun tak mungkin, karena di dalam sudah ada kucing pejantan hitam berwarna hitam berkalung kuning yang telah lebih dulu aku beri nama, Edgar.

Kucing Betina dan 4 Anaknya

Kucing Betina dan 4 Anaknya

Rasa cemas masih menghantui perasaanku dengan kucing betina dan empat ekor anaknya itu. Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar dia merasa aman. Karena meski di dalam kotak. Jika si betina meninggalkan anaknya untuk mencari makan otomatis 4 bayi tersebut rawan kembali didatangi kucing jantan yang kerap kali membunuh dengan cara memakan atau menggigit bayi sejenisnya. Aku jadi ingat Unnie, kucing yang telah mengalami itu, 3 anaknya mati di tempat Unnie menyusui. Ah, tentang Unnie mungkin nanti akan kuceritakan di lain waktu.

Akhirnya aku mencari dan menemukan sebuah papan penutup sumur untuk menutupi sudut kelas dan merenggankannya untuk sekadar kucing betina keluar. Semoga baik-baik saja. Kutinggalkan dia. Aku berjalan menuju toilet di ruang kelas di pojok yang berlawanan. Sembari kutatap dia kebelakang, dan kucing betina mengeong berdiri menatapku. Aku hilang di antara gelap malam. Keluar kamar mandi dan masuk kembali ke dalam ruangan. Ah, aku jadi kepikiran bagaimana keadaannya sekarang. Apakah aku harus memeliharanya dalam jangka waktu berkesinambungan. Lalu, mau diberi nama apa nanti ia? Apakah perlu aku belikan kalung cantik untuknya seperti pada Edgar? Apakah pembaca juga punya usul untuk memberikan nama yang baik untuk si Kucing Betina yang baru melahirkan itu. Kita lihat saja nanti. []

 

Mozaik Kita

Standar

Sesekali kita pergi ke rumah teman sekelas lain di ujung gang sebelah sana. Meminjam beberapa volume komik Doraemon, Dragon Ball, Kungfu Boy dan Conan. Uniknya, ketika kita membawa ke dalam kelas, komik tersebut disita oleh Bu Guru. Ada juga yang punya mainan Dingdong kecil yang digilir teman sekeliling kelas saat menunggu Bu Guru masuk.

Tapi jangan salah, teman-teman kita yang orangtuanya lebih berduit, punya Game Boy, ada juga yang menyebutnya Gamebot. Permainan monochrome dengan beberapa level tetris yang cukup sulit. Waktu pulang sekolah pun tak wajib langsung pulang ke rumah lebih dulu, terkadang kita sempatkan singgah ke rumah kawan yang punya Nintendo/Video Game/bahkan yang mereknya Sega lebih menarik minat. Karena kita bisa menjadi player karakter Sonic dan mengguling-gulingkannya dengan musuh besar pak tua naik pesawat dihiasi kumisnya yang panjang. Tapi, sebagian dari kita lebih suka bermain Mortal Kombat III. Fatality! And Flawless Victory!

Yang paling laku itu Super Mario Bros. Player yang berhasil menyelamatkan tuan putri dan mengambil kampak di stage yang akrab di sebut “Neraka” kemudian membuat jembatannya runtuh hingga menjatuhkan raja kura-kura, maka ialah yang dinobatkan menjadi paling hebat di antara player lainnya. Terserah kamu mau pakai karakter Mario atau Luigi.

Saat masa remaja tiba, koin-koin telpon umum semakin laku untuk pendekatan di telepon umum. Demikian juga wartel, terkadang kita harus rela mengatre demi pendekatan dengan si doi. Salah-salah, yang mengangkat telepon malah bapaknya. Ya sudah, kita berkumpul di rumah. Bermain Monopoli, Ular tangga, bahkan kartu Hologram. Dan jangan lupa yang memiliki koleksi gambar terbanyak, dialah yang paling jago bermaun “ambung” dan “kompak”. Bela-belain beli yang baru supaya terlihat banyak. Kartunya masih baru belum ada lipatan. Masalahnya, belum lagi bungkus dibuka, Bu Guru sudah merazia di sekolah. Dan hilanglah semua gambar-gambar baru kita yang masih terbungkus dengan rapinya. Masih bau kertas cuy, belum bau keringat.

Ketika musimnya sampai, waktunya minta duit dengan orang tua buat beli mobil mainan Tamiya. Apapun merknya, mau Auldey, Double Diamond, atau apalah namanya, kita cuma tahu, itulah Tamiya. Sampai rela komik Yonkuro dijadikan buku panduan dan tak pernah bisa meninggalkan satu episode pun di TVRI. Tak ada yang paling hebat selain Super Emperor. Beli Tamiya yang murah saja, tak perlu kelas pro, yang penting dimodifikasi supaya kencang larinya. Tapi karena lupa waktu, ibu dan ayah terpaksa menjemput di trek lapangan tamiya yang banyak orang. Sebelum pulang, sempatkan jajan wafer coklat Superman, coklat Musang, dan Permen Jagoan Neon biar lidah kita pada berwarna.

Kita juga sempatkan mengisi waktu istirahat sekolah atau sepulang sekolah singgah ke pasar. Tak ada tujuan lain selain membeli poster bermerek Gunung Kelud. Gambarnya pun bermacam-macam. Sebagian kawan lebih memilih gambar Satria Baja Hitam, RX Bio, atau RX Robo. Jarang sekali yang beli poster artis. Pun jikalau ada, yang paling tenar hanya grup musik semisal Slank, Sheila on 7, dan Dewa 19. Itu lagu lebih pas untuk kaum orang tua kita waktu itu.

Yang paling laku itu cemilan berbentuk net merek Fuji, atau tic-tic, Taro, Kenji, apalagi kalau ada hadiahnya. Terus makan cemilan Mie Anak Mas. Setelah habis mie kering tersebut, bumbu yang menempel dibungkusnya pun dijilatin sampai habis. Kalau hari Minggu tiba, bangunnya pagi sekali, lebih pagi dibandingkan hari masuk sekolah. Siap-siap buat nonton Doraemon, Detektif Conan, Ninja Hatori, Satria Baja Hitam RX, Dragon Ball, Saint Seiya, Gundam, Ranma 1/3, P-Man, sampai tempo Pokemon, Digimon, dan anime jepang lainnya. Padahal dulu paling ingat waktu petang tiba ada serial kartun, lebih mirip boneka lilin, adegan roket yang ada nomornya, 1, 2, 3, dan 4, ah, aku tak ingat apa judulnya, dan kartun pendekar berpedang symbol kepala macan, Thundercats, di TVRI. Bahkan bela-belain beli pedang-pedangan berlambang singa itu di pasar. Tak ketinggalan Power Ranger. Ranger apa favoritmu dulu? Aku suka Ranger Biru!

Bicara soal Ranger, kita paling hapal namanya dan warnanya, siapa tahu nama Ranger warna Pink, hayooo??? Lalu siapa coba yang paling tergila-gila dengan Jason??? Bahkan jam istirahat rebutan mau jadi Ranger Merah. Suka tak suka, kita paksakan yang berperan Ranger Merah ada dua. Karena teman yang paling keras hati memang tak pernah mau mengalah.

Kita adalah yang paling ingat kekuatannya, dan paling benci kalau robotnya belum datang. Tapi semua sudah tahu ending para Ranger itu, si musuh pasti kalah kalau semua robot binatang itu bersatu menjadi raksasa dan bergabung mengalahkan monster jahat. Jahat sekali. Dan ledakan mengakhiri episode Power Ranger hari ini.

Hari Senin pun tiba, siap-siap berangkat ke sekolah dengan sepatu yang ada lampu menyala di bagian tumit. kalau tidak punya sepatu PRO ATT, jangan harap dibilang gaul sama kawan-kawan. Jangan lupa pula pakai jam tangan merek G-Shock. Kalau dinyalakan gambarnya lumba-lumba. Anti air, katanya. Lalu seting alarm saat pelajaran di kelas berlangsung. Biar dibilang ada panggilan dari Jordan bahwa Power Ranger siap beraksi. BERUBAH.

Tak pernah cukup hanya menonton superhero. Kita juga sering membeli snack Chiki yang berhadiah Tazos. Semakin banyak punya koleksi, maka banyak yang bangga dengan kita. Dan katanya, pulpen besar-besar yang punya tali dan bisa dikalungkan itu isinya narkoba, nama kerennya waktu itu sabu-sabu. Sangat khas dengan baunya yang wangi sekali. Tapi tak harum seperti nama Kartini, ya! Sebagian kawan kita perempuan lebih banyak yang punya pulen itu. Secara gambarnya warna warni dan lucu. Dan wajib menuliskan biodata pribadi, kesan, pesan, serta hobby di buku diary kawan-kawan dengan judul “My Biodata”. Kalau tak bersedia mengisinya, diancam tidak akan ditemani dan tidak akan diingat untuk selamanya. Paling banter, dibilang gak gaul. Lagi-lagi. Pakai kunci gembok segala. Seakan-akan ada peta harta karun di dalamnya. Tapi ada juga yang pernah menghilangkan kuncinya. Hingga sekarang tak pernah lagi bisa membuka, atau tak mau membuka. Bahkan memang tidak ada bendanya karena sudah hilang entah kemana. Selamanya?

Kita itu paling hobi beli permen karet Yosan. Teman saya berani beli satu lusin. Hanya karena ingin dapat hadiah menarik. Kita harus berhasil menysun huruf yang terdapat dibalik bungkusan menjadi kalimat Y-O-S-A-N. Anehnya, dari zaman pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, sampai zaman Demokrasi SBY, huruf N itu memang tidak pernah ditemukan. Malahan isu dan Hoax yang tersiar ada orang yang menemukan huruf N itu tak pernah ada bukti nyata. Kawan saya bilang, kemungkinan perusahaan memang lupa memproduksinya. Tapi memang tidak ada kisah paling indah. Selama kita tak pernah mengingat atau menginginkan kisah itu indah. selamat bernostalgia kawan-kawan kelahiran 1988-1993.

Ananda Perdana Anwar.

Pengalaman Singkat Fotografi

Standar

Saya jadi ingat waktu pertama kali pegang DSLR punya sobat sekampus. Dan hasil fotonya bagus seluruhnya menurut pandangan mata anak muda seumuran saya. Waktu itu dia bilang, “Kalau mau punya foto seperti ini harus punya DSLR dulu,” ujarnya. Saya jadi tersugesti untuk punya kamera besar sebagaimana yang dia pegang. Meski fotografi sudah menjadi ketertarikan saya sejak SD. Masih zaman film sekitar 1992. Tapi orang tua bukanlah kalangan orang berduit yang bisa membelikan kamera berkelas.

Singkat cerita sekarang di era digital, tepatnya awal kuliah di tahun 2009. Saya punya handphone berkamera. Mereknya Sony Ericsson K800i. Semua fitur saya gunakan dan maksimalkan. Dan mempunyai album khusus di facebook. Lumayanlah, banyak yang bertanya-tanya menggunakan kamera apa, nyatanya saya hanya menggunakan handphone kamera.

Kemudian bisnis fotografi semakin menjanjikan. Saya pun terjun bersama rekan yang lain untuk mengambil job wedding, meski hanya menjadi asisten, memegang lampu, bawa peralatan fotografer, dan sesekali memotret kalau dipinjami. Alhasil, ada sedikit demi sedikit ilmu yang saya pahami di teknologi DSLR.

Kemudian saya putuskan untuk membeli kamera. Karena tidak mempunyai budget yang cukup membeli yang baru, maka saya belilah punya teman 2nd dengan harga yang relatif murah. Beberapa kali bayar pula. Kamera DSLR Olympys E-520 dengan lensa kit 14-42mm f/3.5-5.6. Ia rela melepas Olympus itu karena sudah mampu upgrade dan pinda sistem ke Canon EOS 5D Mark II + Fix 50mm f/1.4.

Pada akhirnya, kami sama-sama belajar dan menemukan karakter masing-masing. Dia lebih suka memotret model berjenis fashion dan saya lebih ke jurnalistik. Semua saya lalui dengan proses panjang dan jatuh bangun. Ingin beli itu, beli ini, upgrade lensa, ganti merek, beli lampu, punya kawan lebih bagus, karena pakai A, yang satu lebih menarik karena memakai B, dan yang satu lebih natural karena kamera C. Alhasil semua berkutat di seputar alat saja.

Pada akhirnya, pengalamanlah yang memberikan pemahaman. Berpuluh bahkan beratus-ratus teori sudah saya lahap hingga sejumlah rak buku soal fotografi saya serap. Tapi tanpa praktek semua nihil. Hingga saya berkesempatan bekerja di salah satu harian lokal Kalimantan, barulah terasa. Alhasil, semua jenis alat bagus dan menunjang kemampuan. Pengalaman dan jam terbang tinggi di lapangan sangat menentukan hasil foto dari level terbawah sampai kelas pro. Apapun kameranya.

Kalau boleh saya katakan, fotografer yang menghasilkan foto dari kamera kelas bawah atau entry level adalah hal yang “Maksimal”. Tetapi fotografer yang mampu menghasilkan foto dan begitu paham pengoperasian kamera miliknya hingga kelas pro sekalipun, maka itulah “Sempurna”.

Maaf jika tulisan saya terkesan seperti cerpen. Sekadar berbagi.

 

Lembur Saat Libur

Standar

Menarik nafas panjang. Membujurakan pinggang, tulang rasa tagulung. Begitu rasanya. Lagu Follow Me dari Sule ft Andre mengalun layu mengambang gelombang dan mengayun menjadi backsound tulisan saya di dini hari ini, Minggu, (14/10) dalam kamar No 6 Purnama Kingdom, Kota Banjarbaru.

Ini bukan catatan harian, atau diary. Ini juga bukan cerita fiksi atau cerita pendek. Ini hanya luapan emosi dikala sepi. Saat semua tugas terselesaikan di hari libur, hari istirahat, hari santai, atau hari dispensasi manajemen redaksi untuk tidak menyetor berita di hari off. Namun deadline sudah ditebas, keras, terhempas, dan Forbidden Lover mengalir deras dibawakan L’Arc~en~Ciel.

Tak seperti pagi biasanya. Biasanya saya bangun pagi, terkadang juga tidur lagi. Rasa lelah masih menyelimuti raga lantaran malamnya melihat adik-adik teater di Sanggar Ar-Rumi dilatih dalam pendewasaan diri di Desa Awang Bangkal, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Saya tidak menceritakan soal latihan teater. Intinya, saya baru bisa memejamkan mata pukul 04 pagi dan bangun sebelum pukul 06 pagi juga. Sesudah menunaikan kewajiban kembali, saya melatih adik-adik untuk berolah-olah vocal, olah tubuh, olah nafas, olah sukma, dan lain sebagainya. Sekira telah cukup, sekitar pukul 08.30 Wita saya bergegas untuk kembali ke kota membersihkan diri. Meski kotor itu baik, tapi terlalu lama kotor tak baik juga.

Mata ini sudah berat rasanya. Buru-buru membuka pintu melepas segala peralatan militer, (tas ransel berisi 3 buku tebal 3 jari, kamera DSLR, Flash Eksternal, charger, dan peralatan elektronik lainnya) langsung menyalakan musik. Membuat kopi dan menyalakan komputer. Saya sudah rencanakan untuk bersiap ke bandara Syamsudin Noor guna meliput pelaksanaan Modifikasi Cuaca oleh Badan Penanggulanan Bencana Dareah (BPBD) Kalsel atau yang biasa disebut hujan buatan. Itu lantaran kabut asap di Kalsel belakangan terlalu parah. Sudah banyak yang terkena ISPA karenanya. Oleh sebab itulah kebijakan tersebut dilaksanakan dengan biaya sekitar 1,73 Miliar dari APBD Provinsi Kalsel.

Karena mata ini terlalu berat, Saya sempatkan tidur sejenak dengan posisi seadanya. Agar saya tak lupa mandi, maka dengan sengaja handuk merah hati dililitkan ke badan dengan perkakas mandi di samping kepala. Saya mulai tertidur pulas seperti buruh pabrik.

Saya terkejut ketika mendengar handphone bordering. Kalau tidak salah nada deringnya lagu Arash feat Helena dengan judul Broken Angel, yang lagi booming. “I am so lonely broken angel…..!!!”, “Halo,” saya menjawab dengan mata yang masih tertutup. Ternyata dari Ketua DPRD Kota. “Baik pak! Sesegaranya saya meluncur!” dengan gerakan duduk dan menundukkan kepala. Meski kita tahu yang dia tak ada dihadapan kita. Tapi bukankah secara tidak sadar kita selalu seperti itu ketika ditelpon orang yang berpangkat, seumapa bos di kantor, guru, dosen, tuan guru, ulama, orang tua, atau pejabat tinggi Negara.

Ah, air dingin ini sudah cukup menyegarkan jiwa dan raga. Boleh dibilang mandi mewah. Setelah memakai style serba hitam, motor melaju kencang menuju Permata In Hotel yang berada di Jl A Yani Km 34 untuk meliput kegiatan Orientasi Fungsionaris salah satu partai politik. Tepatnya pukul 12.00 Wita. Mau tau bagaimana kondisinya Jl A Yani di Kota Banjarbaru? Jalannya padat, lalu lintasnya macet, mataharinya seperti sejengkal (seperti hari kiamat saja, red), kulit terasa terbakar, bulu-bulu seperti meleleh, dan baju dalam kita sudah basah. Berkeringat.

Saya sudah memarkir motor dan masuk ke ballroom dengan gagah berani dan “cool”. Secara gue ganteng gitu. Kaca mata hitam, kemeja hitam lengan panjang, celana panjang hitam, ID Card di pinggang, tas pinggang dan ransel hitam, ditambah sepatu hitam yang baru saya beli belum sepekan. Keren banget.

Suasa lampu memang kekuning-kuningan, setelah mengambil gambar jepret sana-sini seadanya, saya keluar mencari udara yang tidak terkontaminasi dengan berbagai macam aroma di dalam balroom. Ternyata pak Ketua yang menelpon saya ada disana dengan rekannya dari provinsi, maka duduklah saya dengan sopan tentunya sesudah bersalaman. Menyalakan sebatang rokok, mengobrol, berdiskusi, dan saling mentertawakan diri masing-masing.

Singkat cerita, pekerjaan menjadi pendamping narasumber saat acara kepentingan berlangsung selesai sekitar pukul 15.00 Wita. Saya berpamitan, untuk segera berangkat ke bandara. Bukankah saya sudah jawdwalkan pukul 12.00 Wita sudah tiba disana? Ya, benar sekali. Tapi ketahuilah bahwa sebelumnya saya sudah menghubungi kordinator lapangan TMC (Tim Modifikasi Cuaca) tentang pengunduran waktu datangnya pesawat. Alhasil, melajulah saya menuju bandara Syamsudin Noor Banjarmasin yang berada di Banjarbaru.

“Siang, Pak! Gimana nih? Pesawatnya kapan datang?” ujar saya bertanya kepada korlap TMC. “Hmmmm, mungkin sekitar 50 menit lagi.” Jawabnya. Ya… ya… yaa… budaya ngaret memang sudah menjadi darah daging bagi orang Indonesia. Termasuk kita. Tidak munafik dong denga kata “Kita”?

Kawan-kawan dari media elektronik sudah datang dan berkumpul. Di antara mereka, sih, lebih banyak stasiun tv nasional. Misalnya, TV One, SCTV, Kompas TV, ANTV, dan lokal seperti Banjar TV serta Duta TV. Ditambah lagi 4 orang kawan dari mdia cetak harian umum besar di Kalsel. Sembari menunggu datangnya pesawat CASA 212-200 yang akan membawa garam jenis NaCl untuk menyemai awan agar turun hujan, kami mengobrol, berdiskusi, kadang bercanda, sharing pendapat, diskusi sampai saling caci maki dalam qaedah begayaan behapakan.

Hahahaha… beberapa kali, kami ternyata sempat tertipu, ada pesawt-pesawat yang datang tapi itu bukan CASA yang dimaksud, melainkan pesawat TNI AL, pesawat barang, terkadang ada pula cuma pesawat patroli. Sampai-sampai salah seorang rekam yang sudah serius merekam gambar seperti dikibuli. Hanya karena tidak bertanya, malu bertanya sesat didata. Begitu peribahasanya.

Masa yang ditunggi akhirnya tiba, pesawat CASA 212-200 tiba di bandara Syamsudin Noor sekiatar 17.15 Wita. Sudah. Semua sudah siap mengambil posisi masing-masing untuk mengambil gambar. Termasuk saya yang dari tadi pindah-pindah sembari berlalu lalang di depan kamera kawan-kawan yang merekam. Sesekali saya minta difotokan juga di depan pesawatnya. Biar dikira Horang… kayaaah!!!!

Namun tak lama, awan yang sedari tadi mendung semakin pekat, hitam, dan dengan lebatnya menurunkan air alias hujan. Wow, saya beropini pesawat bakal tidak take off karena sudah hujan duluan. Benar saja, pesawat memang tak jadi diberangkatkan mengingat kondisi cuaca yang terlalu ekstrem. Huh, padahal sudah niat banget pengen nimbrung di pesawat itu. Itung-itung nambah pengalaman. Tapi semua gagal. Berita harus tetap berita, tetap saja pulang tidak boleh dengan tangan kosong. Kami putuskan untuk wawancara kepada korlap TMC terkait kembali ditundanya CASA 212-200 yang tidak jadi take off karena hujan disertai badai serta angin ribut yang sungguh-sungguh mengkhawatirkan. Katanya.

Kordinator Teknis Lapangan Tim Modifikasi Cuaca mengatakan, hujan yang turun memang efek dari garam sisa sekita 500 Kg yang dibawa terbang pesawat CASA 212-200 dari Medan menuju Banjarmasin. Pilotnya bilang, kebetulan saat melihat awan Comulunimbus di atas wilayah Kalsel, langsung saja awak kapal petugas TMC menembak atau menyemai awan yang memang berpotensi tumbuh mengangkat uap air dan mengeluarkannya atau yang biasa kita sebut dengan hujan. Jadi, hujan yang turun, memang efek dari garam NaCl itu tadi. Ya begitulah. Lapangan Run Way sudah basah dan berefleksi. Tetapi, kabar itu datang, ya… kabar itu! peristiwa itu… itu angin puting beliung. Katanya sih membuat pohon tumbang dan membuat salah satu gedung olaharaga di wilayah Banjarbaru ambruk, runtuh, rata dengan tanah. Kami berangkat dengan transportasi masing-masing. Ada yang memakai jas hujan dan ada pula yang tidak. Ada juga yang ikut naik mobil biar gak kebasahan.

Menuju Banjarbaru. Sangat menyesakkan sore itu. Saya memang sengaja tidak segera mengirim konten berita karena yakin pasti akan sebentar saja. Perkiraan mungkin agak petang sudah mulai eksekusi dan mengirim via surat elektronik.

Setelah melalui perjalanan panjang padat dan merayap dari Jl A Yani Km 26 sampai dengan 33, pohon tumbang yang terhalang menjadi penyebab utama itu pun telah terlihat di hadapan mata. Saya segera memarkirkan motor di ruko terdekat. Kenapa harus ruko? Gak kenapa-napa, hanya saja masih perlu ini motor diteduhkan. Kemudian, saya merapikan segala pakaian hujan lalu mengambil kamera. Jepret sana! Jepret sini! Ambil angle! Putar-putar tombol. Tak lama kawan-kawan media yang lain juga datang dan sama-sama mengambil gambar. Entah mengapa, saya hanya merasa tidak ingin saja kalau sudut yang saya ambil sama persis dengan rekan lain. Atau sebaliknya. Maka saya memutuskan untuk menaiki gedung ruko berlantai tiga di wilayah terdekat. Akhirnya bisa, sebelumnya juga minta izin dengan pekerja yang berjaga. Saya mengambil beberapa bingkai gambar yang memperlihatkan pohon tumbang beserta panjangnya antrian sebagai dampaknya. Setelah dirasa cukup, saya turuun kembali ke TKP dan meneruskan pencarian jejak puting beliun lainnnya. Kami menuju Jl Kartarejo Kelurahan Guntung Payung samping Markas Brimob melalui Jl Trikora. Apa yang terjadi. Sejumlah warga sudah bergumul ngeluruk lokasi kejadian peristiwa. Tragis. Kondisi gedung itu memang sudah rata dengan tanah.

Saya kembali memotret berbagai angel, bertanya sana sini hingga hari memasuki gelap. Adzan magrib telah berkumandang, malam telah menyelimuti. Lelah di tubuh pun sudah menghajar satu-persatu anggota raga. Kaki ini harus melangkah hati-hati karena tumpukan beton bisa menjebak. Tapi saya ceroboh, lupa kalau sepatu licin, lalu menginjak bidang beton miring. Tentu saja terjatuh, kamera saya terantuk dinding dan terhempas keras ke lantai. “Uma ai, begimit Tung, sayangnya kamera!” ujar Polisi di samping saya meresponsif kejatuhan itu. Tapi cuek saja. Kendati demikian, saya harus beranjak bergegas dengan santai ke RSUD Banjarbaru guna mednata nama-nama korban yang terluka. Alhasil, Ada 9 seluruhnya, 1 tewas di antaranya tewas, seorang Dosen di Fakultas Kehutanan Unlam Banjarbaru. 8 orang lainnya mengalami luka. 3 di antarnya diperbolehkan pulang karena masih tergolong ringan dan 5 orang lagi harus dirawat secara intensive di UGD RS Banjarbaru.

Di jalan dengan sedikit rasa lelah, kadang mengeluh, kada bersyukur. Kadang-kadang begitulah. Lagunya membuat saya ngantuk. ‘Cuma Kamu’ yang dinyanyikan Ridho Rhoma mengalun menyentuk lembut kelopak mata. Tapi saya harus selesaikan cerita ini sebelum tertidur.

Kawan-kawan rekan kerja di lapangan sudah berkumpul di UGD. Sebagian sudah menyalin data nama mengetik di BB-nya. Sebagian mencatat, sebagian lagi mengambil gambar. Sebenarnya ini bukan berita yang terlalu besar, tapi karena moment kawan-kawan kumpul semua, jadinya semua dibesar-besarkan.

Saya terburu-buru mengeluarkan kamera, dengan perasaan libur yang berat. Berat karena ini sudah cukup malam untuk mengetik berita. Liputan sampai malam di hari libur dan belum satu waktu pun sempat pulang. Apalagi di hari libur ini terlalu banyak peristiwa. Peristiwa berjamaah, ngatre satu persatu untuk segera disajikan di meja redaksi. Semua handphone saya sudah lowbat, secara memang pemakaian hyperaktif. Sudah tak semangat mencatat, saya mengeluarkan kamera untuk memoto data nama dari pak polisi yang baik hati. “Permisi, Pak! Nyontek Ya”, begitu. Bla…bla..bla… sudah seperti Ujian Tengah Semester SMU saja.

“Oh… Shit! Ada apa dengan cinta! Eh, maksudnya ada apa dengan kameraku? Mengapa LCD nya tak tampak,” saya terkejut. Memang terakhir saya memakai tidak seperti ini. Saya terduduk dan tersandar di dinding sumah sakit dengan sekali lagi perasaan lelah. Sejenak saya yakin kamera memang rusak lantaran terhempas di lokasi kejadian peristiwa. Baiklah, memang ini jalannya, saya terima keruasakannya. Sudah, saya sudah tak semangat lagi menulis dan mencatat apa-apa. Pada intinya terima kasih kepada kakak yang sudah berbaik hati mengirimkan salinannnya via BBM.

Jenazah sudah dimasukan ke dalam ambulance untuk dibawa ke rumah duka. Korban lain sudah diperban dan dirawat para perawat cantik di rumah sakit. Kita, ya seperti biasa, bergemul diluar tertawa-tawa menahan perut lapar sambil menghembuskan beberapa asap. Kosong.

Sebagaian kawan beranjak kembali ke habitat masing-masing. Lemah, letih, lesu, loyo, lapar, dan ah, begitulah. Singkat cerita, saya sudah mendapat panggilan dari kantor redaksi untuk segera mengirimkannya. Shit! Sudah jam berapa sekarang, apa masih sempat. Dengan terburu-buru membawa perut yang sedang bergangnam style, saya menuju Purnama Kindom 2B untuk bekerja. Tapi saya terpesona dengan gambar Ayam di depan itik diiringi oleh ikan-ikan laut dalam spanduk bertuliskan sea food itu. Sudah, berhenti dulu. Lebih baik makan dari pada pingsan. Seandainya bisa memilih, Flower dari L’Arc~en~Ciel mengalir harum menjadi backsound mengiri makan malam.

“Siap, Bang! Ni ulun lagi makan,  habis ni bulik langsung bulik langsung ulun ketik!” begitu jawab saya ketika mengangkat telpon dari sang redaktur. Di satu sisi saya bersyukur mendapatkan redaktur yang baik hati. Ada redaktur baik, ada redaktur jahat. Begitu pula ada wartawan baik, ada pula wartawan jahat. Redaktur yang baik bisa menerima kita apa adanya meski banyak melakukan kesalahan sembari memberikan bimbingan. Meskipun kita juga terkadang kena marah karena terlalu sering membuat kesalahan tanpa ada kemauan untuk belajar.

Ini kebiasaan saya usai makan berjenis ikan di warung makan di wilayah Banjarbaru. Meminta plastik kresek kepada pengelola warung makan untuk membungkus tulang. Karena selalu ingat Rumi, kucing penjaga Purnama Kingdom yang selalu Hungry. Dan selalu setia menunggu saya ketika sampai di bawah tangga. Motor melaju perlahan sambil menikmati suasana malam.

Tulang sudah diberikan. Kamar sudah dibuka. Komputer dinyalakan, modem dipasang, dan saya siap menulis segala yang ada. Sebatang rokok disertai alunan blues petikan Rama Satria membawakan Thrill is Gone nya BB king membuat saya angguk-angguk dengan semangat. Tapi apalah daya, ternyata USB Kamera justru tidak bisa membaca memori ke dalam laptop. Jam menunjukan pukul 21.00 Wita. Sudah dua kali panggilan hotline redaksi tak terjawab. Aduh, gimana coba?

Sudahlah, tak ada waktu lagi untuk pinjam sana dan sini. Saya keluar lagi, naik motor, dan berangkat menuju toko komputer terdekat untuk membeli Card Reader yang berfungsi bagi memory card tipe Compact Flash (CF). Setelah sampai, tak banyak tanya, karena barang memang ada, langsung bungkus, terima kembalian, kembali lagi ke Purnama Kingdom 2B kamar No.6. Begitulah.

Oke, berita pertama yang paling dicari adalah peristiwa puting beliung yang menyebabkan pohon tumbang dan gedung bulutangkis roboh. 20 menit, surat terkirim melalui gmail. Berikutnya, fungsionaris, surat terkirim. Next, hujan buatan ditunda lantaran sudah turun hujan, email sent. Done. Mission Complete.

Saya merebahkan diri sembari mencharger semua handphone yang saya miliki. Sesekali ngetwit kata-kata sok bijaksana dan update status facebook dengan bersahaja. Efektif, dan cukup menghibur hari libur yang penuh dengan peristiwa. Saya merasa rugi kalau hanya mengingat ini hari tanpa mengabadikan dengan menuliskannya.

Hari libur lembur. Mungkin begitu. Bagi jurnalis memang tak ada yang namanya jam kerja. Jam kerjanya amburadul. Jam kerja buruk. Tapi setidaknya bisa membuat kita sadar bahwa setiap hari tak ada yang pasti. Kebenaran hari ini belum tentu kebenaran esok hari. Ada setitik nilai dalam setiap waktu yang kita anggap sepele. Semua aturan yang Maha Merekam, Maha Menulis, Maha Jurnalis, dan Maha segalanya. Selamat datang hari Minggu. Welcome Sunday Morning.

Purnama Kingdom 2B Kamar No 6 Pukul 03.24 Wita

Saat Hyde L’Arc~en~Ciel mengalunkan “Anata”