Menarik nafas panjang. Membujurakan pinggang, tulang rasa tagulung. Begitu rasanya. Lagu Follow Me dari Sule ft Andre mengalun layu mengambang gelombang dan mengayun menjadi backsound tulisan saya di dini hari ini, Minggu, (14/10) dalam kamar No 6 Purnama Kingdom, Kota Banjarbaru.
Ini bukan catatan harian, atau diary. Ini juga bukan cerita fiksi atau cerita pendek. Ini hanya luapan emosi dikala sepi. Saat semua tugas terselesaikan di hari libur, hari istirahat, hari santai, atau hari dispensasi manajemen redaksi untuk tidak menyetor berita di hari off. Namun deadline sudah ditebas, keras, terhempas, dan Forbidden Lover mengalir deras dibawakan L’Arc~en~Ciel.
Tak seperti pagi biasanya. Biasanya saya bangun pagi, terkadang juga tidur lagi. Rasa lelah masih menyelimuti raga lantaran malamnya melihat adik-adik teater di Sanggar Ar-Rumi dilatih dalam pendewasaan diri di Desa Awang Bangkal, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Saya tidak menceritakan soal latihan teater. Intinya, saya baru bisa memejamkan mata pukul 04 pagi dan bangun sebelum pukul 06 pagi juga. Sesudah menunaikan kewajiban kembali, saya melatih adik-adik untuk berolah-olah vocal, olah tubuh, olah nafas, olah sukma, dan lain sebagainya. Sekira telah cukup, sekitar pukul 08.30 Wita saya bergegas untuk kembali ke kota membersihkan diri. Meski kotor itu baik, tapi terlalu lama kotor tak baik juga.
Mata ini sudah berat rasanya. Buru-buru membuka pintu melepas segala peralatan militer, (tas ransel berisi 3 buku tebal 3 jari, kamera DSLR, Flash Eksternal, charger, dan peralatan elektronik lainnya) langsung menyalakan musik. Membuat kopi dan menyalakan komputer. Saya sudah rencanakan untuk bersiap ke bandara Syamsudin Noor guna meliput pelaksanaan Modifikasi Cuaca oleh Badan Penanggulanan Bencana Dareah (BPBD) Kalsel atau yang biasa disebut hujan buatan. Itu lantaran kabut asap di Kalsel belakangan terlalu parah. Sudah banyak yang terkena ISPA karenanya. Oleh sebab itulah kebijakan tersebut dilaksanakan dengan biaya sekitar 1,73 Miliar dari APBD Provinsi Kalsel.
Karena mata ini terlalu berat, Saya sempatkan tidur sejenak dengan posisi seadanya. Agar saya tak lupa mandi, maka dengan sengaja handuk merah hati dililitkan ke badan dengan perkakas mandi di samping kepala. Saya mulai tertidur pulas seperti buruh pabrik.
Saya terkejut ketika mendengar handphone bordering. Kalau tidak salah nada deringnya lagu Arash feat Helena dengan judul Broken Angel, yang lagi booming. “I am so lonely broken angel…..!!!”, “Halo,” saya menjawab dengan mata yang masih tertutup. Ternyata dari Ketua DPRD Kota. “Baik pak! Sesegaranya saya meluncur!” dengan gerakan duduk dan menundukkan kepala. Meski kita tahu yang dia tak ada dihadapan kita. Tapi bukankah secara tidak sadar kita selalu seperti itu ketika ditelpon orang yang berpangkat, seumapa bos di kantor, guru, dosen, tuan guru, ulama, orang tua, atau pejabat tinggi Negara.
Ah, air dingin ini sudah cukup menyegarkan jiwa dan raga. Boleh dibilang mandi mewah. Setelah memakai style serba hitam, motor melaju kencang menuju Permata In Hotel yang berada di Jl A Yani Km 34 untuk meliput kegiatan Orientasi Fungsionaris salah satu partai politik. Tepatnya pukul 12.00 Wita. Mau tau bagaimana kondisinya Jl A Yani di Kota Banjarbaru? Jalannya padat, lalu lintasnya macet, mataharinya seperti sejengkal (seperti hari kiamat saja, red), kulit terasa terbakar, bulu-bulu seperti meleleh, dan baju dalam kita sudah basah. Berkeringat.
Saya sudah memarkir motor dan masuk ke ballroom dengan gagah berani dan “cool”. Secara gue ganteng gitu. Kaca mata hitam, kemeja hitam lengan panjang, celana panjang hitam, ID Card di pinggang, tas pinggang dan ransel hitam, ditambah sepatu hitam yang baru saya beli belum sepekan. Keren banget.
Suasa lampu memang kekuning-kuningan, setelah mengambil gambar jepret sana-sini seadanya, saya keluar mencari udara yang tidak terkontaminasi dengan berbagai macam aroma di dalam balroom. Ternyata pak Ketua yang menelpon saya ada disana dengan rekannya dari provinsi, maka duduklah saya dengan sopan tentunya sesudah bersalaman. Menyalakan sebatang rokok, mengobrol, berdiskusi, dan saling mentertawakan diri masing-masing.
Singkat cerita, pekerjaan menjadi pendamping narasumber saat acara kepentingan berlangsung selesai sekitar pukul 15.00 Wita. Saya berpamitan, untuk segera berangkat ke bandara. Bukankah saya sudah jawdwalkan pukul 12.00 Wita sudah tiba disana? Ya, benar sekali. Tapi ketahuilah bahwa sebelumnya saya sudah menghubungi kordinator lapangan TMC (Tim Modifikasi Cuaca) tentang pengunduran waktu datangnya pesawat. Alhasil, melajulah saya menuju bandara Syamsudin Noor Banjarmasin yang berada di Banjarbaru.
“Siang, Pak! Gimana nih? Pesawatnya kapan datang?” ujar saya bertanya kepada korlap TMC. “Hmmmm, mungkin sekitar 50 menit lagi.” Jawabnya. Ya… ya… yaa… budaya ngaret memang sudah menjadi darah daging bagi orang Indonesia. Termasuk kita. Tidak munafik dong denga kata “Kita”?
Kawan-kawan dari media elektronik sudah datang dan berkumpul. Di antara mereka, sih, lebih banyak stasiun tv nasional. Misalnya, TV One, SCTV, Kompas TV, ANTV, dan lokal seperti Banjar TV serta Duta TV. Ditambah lagi 4 orang kawan dari mdia cetak harian umum besar di Kalsel. Sembari menunggu datangnya pesawat CASA 212-200 yang akan membawa garam jenis NaCl untuk menyemai awan agar turun hujan, kami mengobrol, berdiskusi, kadang bercanda, sharing pendapat, diskusi sampai saling caci maki dalam qaedah begayaan behapakan.
Hahahaha… beberapa kali, kami ternyata sempat tertipu, ada pesawt-pesawat yang datang tapi itu bukan CASA yang dimaksud, melainkan pesawat TNI AL, pesawat barang, terkadang ada pula cuma pesawat patroli. Sampai-sampai salah seorang rekam yang sudah serius merekam gambar seperti dikibuli. Hanya karena tidak bertanya, malu bertanya sesat didata. Begitu peribahasanya.
Masa yang ditunggi akhirnya tiba, pesawat CASA 212-200 tiba di bandara Syamsudin Noor sekiatar 17.15 Wita. Sudah. Semua sudah siap mengambil posisi masing-masing untuk mengambil gambar. Termasuk saya yang dari tadi pindah-pindah sembari berlalu lalang di depan kamera kawan-kawan yang merekam. Sesekali saya minta difotokan juga di depan pesawatnya. Biar dikira Horang… kayaaah!!!!
Namun tak lama, awan yang sedari tadi mendung semakin pekat, hitam, dan dengan lebatnya menurunkan air alias hujan. Wow, saya beropini pesawat bakal tidak take off karena sudah hujan duluan. Benar saja, pesawat memang tak jadi diberangkatkan mengingat kondisi cuaca yang terlalu ekstrem. Huh, padahal sudah niat banget pengen nimbrung di pesawat itu. Itung-itung nambah pengalaman. Tapi semua gagal. Berita harus tetap berita, tetap saja pulang tidak boleh dengan tangan kosong. Kami putuskan untuk wawancara kepada korlap TMC terkait kembali ditundanya CASA 212-200 yang tidak jadi take off karena hujan disertai badai serta angin ribut yang sungguh-sungguh mengkhawatirkan. Katanya.
Kordinator Teknis Lapangan Tim Modifikasi Cuaca mengatakan, hujan yang turun memang efek dari garam sisa sekita 500 Kg yang dibawa terbang pesawat CASA 212-200 dari Medan menuju Banjarmasin. Pilotnya bilang, kebetulan saat melihat awan Comulunimbus di atas wilayah Kalsel, langsung saja awak kapal petugas TMC menembak atau menyemai awan yang memang berpotensi tumbuh mengangkat uap air dan mengeluarkannya atau yang biasa kita sebut dengan hujan. Jadi, hujan yang turun, memang efek dari garam NaCl itu tadi. Ya begitulah. Lapangan Run Way sudah basah dan berefleksi. Tetapi, kabar itu datang, ya… kabar itu! peristiwa itu… itu angin puting beliung. Katanya sih membuat pohon tumbang dan membuat salah satu gedung olaharaga di wilayah Banjarbaru ambruk, runtuh, rata dengan tanah. Kami berangkat dengan transportasi masing-masing. Ada yang memakai jas hujan dan ada pula yang tidak. Ada juga yang ikut naik mobil biar gak kebasahan.
Menuju Banjarbaru. Sangat menyesakkan sore itu. Saya memang sengaja tidak segera mengirim konten berita karena yakin pasti akan sebentar saja. Perkiraan mungkin agak petang sudah mulai eksekusi dan mengirim via surat elektronik.
Setelah melalui perjalanan panjang padat dan merayap dari Jl A Yani Km 26 sampai dengan 33, pohon tumbang yang terhalang menjadi penyebab utama itu pun telah terlihat di hadapan mata. Saya segera memarkirkan motor di ruko terdekat. Kenapa harus ruko? Gak kenapa-napa, hanya saja masih perlu ini motor diteduhkan. Kemudian, saya merapikan segala pakaian hujan lalu mengambil kamera. Jepret sana! Jepret sini! Ambil angle! Putar-putar tombol. Tak lama kawan-kawan media yang lain juga datang dan sama-sama mengambil gambar. Entah mengapa, saya hanya merasa tidak ingin saja kalau sudut yang saya ambil sama persis dengan rekan lain. Atau sebaliknya. Maka saya memutuskan untuk menaiki gedung ruko berlantai tiga di wilayah terdekat. Akhirnya bisa, sebelumnya juga minta izin dengan pekerja yang berjaga. Saya mengambil beberapa bingkai gambar yang memperlihatkan pohon tumbang beserta panjangnya antrian sebagai dampaknya. Setelah dirasa cukup, saya turuun kembali ke TKP dan meneruskan pencarian jejak puting beliun lainnnya. Kami menuju Jl Kartarejo Kelurahan Guntung Payung samping Markas Brimob melalui Jl Trikora. Apa yang terjadi. Sejumlah warga sudah bergumul ngeluruk lokasi kejadian peristiwa. Tragis. Kondisi gedung itu memang sudah rata dengan tanah.
Saya kembali memotret berbagai angel, bertanya sana sini hingga hari memasuki gelap. Adzan magrib telah berkumandang, malam telah menyelimuti. Lelah di tubuh pun sudah menghajar satu-persatu anggota raga. Kaki ini harus melangkah hati-hati karena tumpukan beton bisa menjebak. Tapi saya ceroboh, lupa kalau sepatu licin, lalu menginjak bidang beton miring. Tentu saja terjatuh, kamera saya terantuk dinding dan terhempas keras ke lantai. “Uma ai, begimit Tung, sayangnya kamera!” ujar Polisi di samping saya meresponsif kejatuhan itu. Tapi cuek saja. Kendati demikian, saya harus beranjak bergegas dengan santai ke RSUD Banjarbaru guna mednata nama-nama korban yang terluka. Alhasil, Ada 9 seluruhnya, 1 tewas di antaranya tewas, seorang Dosen di Fakultas Kehutanan Unlam Banjarbaru. 8 orang lainnya mengalami luka. 3 di antarnya diperbolehkan pulang karena masih tergolong ringan dan 5 orang lagi harus dirawat secara intensive di UGD RS Banjarbaru.
Di jalan dengan sedikit rasa lelah, kadang mengeluh, kada bersyukur. Kadang-kadang begitulah. Lagunya membuat saya ngantuk. ‘Cuma Kamu’ yang dinyanyikan Ridho Rhoma mengalun menyentuk lembut kelopak mata. Tapi saya harus selesaikan cerita ini sebelum tertidur.
Kawan-kawan rekan kerja di lapangan sudah berkumpul di UGD. Sebagian sudah menyalin data nama mengetik di BB-nya. Sebagian mencatat, sebagian lagi mengambil gambar. Sebenarnya ini bukan berita yang terlalu besar, tapi karena moment kawan-kawan kumpul semua, jadinya semua dibesar-besarkan.
Saya terburu-buru mengeluarkan kamera, dengan perasaan libur yang berat. Berat karena ini sudah cukup malam untuk mengetik berita. Liputan sampai malam di hari libur dan belum satu waktu pun sempat pulang. Apalagi di hari libur ini terlalu banyak peristiwa. Peristiwa berjamaah, ngatre satu persatu untuk segera disajikan di meja redaksi. Semua handphone saya sudah lowbat, secara memang pemakaian hyperaktif. Sudah tak semangat mencatat, saya mengeluarkan kamera untuk memoto data nama dari pak polisi yang baik hati. “Permisi, Pak! Nyontek Ya”, begitu. Bla…bla..bla… sudah seperti Ujian Tengah Semester SMU saja.
“Oh… Shit! Ada apa dengan cinta! Eh, maksudnya ada apa dengan kameraku? Mengapa LCD nya tak tampak,” saya terkejut. Memang terakhir saya memakai tidak seperti ini. Saya terduduk dan tersandar di dinding sumah sakit dengan sekali lagi perasaan lelah. Sejenak saya yakin kamera memang rusak lantaran terhempas di lokasi kejadian peristiwa. Baiklah, memang ini jalannya, saya terima keruasakannya. Sudah, saya sudah tak semangat lagi menulis dan mencatat apa-apa. Pada intinya terima kasih kepada kakak yang sudah berbaik hati mengirimkan salinannnya via BBM.
Jenazah sudah dimasukan ke dalam ambulance untuk dibawa ke rumah duka. Korban lain sudah diperban dan dirawat para perawat cantik di rumah sakit. Kita, ya seperti biasa, bergemul diluar tertawa-tawa menahan perut lapar sambil menghembuskan beberapa asap. Kosong.
Sebagaian kawan beranjak kembali ke habitat masing-masing. Lemah, letih, lesu, loyo, lapar, dan ah, begitulah. Singkat cerita, saya sudah mendapat panggilan dari kantor redaksi untuk segera mengirimkannya. Shit! Sudah jam berapa sekarang, apa masih sempat. Dengan terburu-buru membawa perut yang sedang bergangnam style, saya menuju Purnama Kindom 2B untuk bekerja. Tapi saya terpesona dengan gambar Ayam di depan itik diiringi oleh ikan-ikan laut dalam spanduk bertuliskan sea food itu. Sudah, berhenti dulu. Lebih baik makan dari pada pingsan. Seandainya bisa memilih, Flower dari L’Arc~en~Ciel mengalir harum menjadi backsound mengiri makan malam.
“Siap, Bang! Ni ulun lagi makan, habis ni bulik langsung bulik langsung ulun ketik!” begitu jawab saya ketika mengangkat telpon dari sang redaktur. Di satu sisi saya bersyukur mendapatkan redaktur yang baik hati. Ada redaktur baik, ada redaktur jahat. Begitu pula ada wartawan baik, ada pula wartawan jahat. Redaktur yang baik bisa menerima kita apa adanya meski banyak melakukan kesalahan sembari memberikan bimbingan. Meskipun kita juga terkadang kena marah karena terlalu sering membuat kesalahan tanpa ada kemauan untuk belajar.
Ini kebiasaan saya usai makan berjenis ikan di warung makan di wilayah Banjarbaru. Meminta plastik kresek kepada pengelola warung makan untuk membungkus tulang. Karena selalu ingat Rumi, kucing penjaga Purnama Kingdom yang selalu Hungry. Dan selalu setia menunggu saya ketika sampai di bawah tangga. Motor melaju perlahan sambil menikmati suasana malam.
Tulang sudah diberikan. Kamar sudah dibuka. Komputer dinyalakan, modem dipasang, dan saya siap menulis segala yang ada. Sebatang rokok disertai alunan blues petikan Rama Satria membawakan Thrill is Gone nya BB king membuat saya angguk-angguk dengan semangat. Tapi apalah daya, ternyata USB Kamera justru tidak bisa membaca memori ke dalam laptop. Jam menunjukan pukul 21.00 Wita. Sudah dua kali panggilan hotline redaksi tak terjawab. Aduh, gimana coba?
Sudahlah, tak ada waktu lagi untuk pinjam sana dan sini. Saya keluar lagi, naik motor, dan berangkat menuju toko komputer terdekat untuk membeli Card Reader yang berfungsi bagi memory card tipe Compact Flash (CF). Setelah sampai, tak banyak tanya, karena barang memang ada, langsung bungkus, terima kembalian, kembali lagi ke Purnama Kingdom 2B kamar No.6. Begitulah.
Oke, berita pertama yang paling dicari adalah peristiwa puting beliung yang menyebabkan pohon tumbang dan gedung bulutangkis roboh. 20 menit, surat terkirim melalui gmail. Berikutnya, fungsionaris, surat terkirim. Next, hujan buatan ditunda lantaran sudah turun hujan, email sent. Done. Mission Complete.
Saya merebahkan diri sembari mencharger semua handphone yang saya miliki. Sesekali ngetwit kata-kata sok bijaksana dan update status facebook dengan bersahaja. Efektif, dan cukup menghibur hari libur yang penuh dengan peristiwa. Saya merasa rugi kalau hanya mengingat ini hari tanpa mengabadikan dengan menuliskannya.
Hari libur lembur. Mungkin begitu. Bagi jurnalis memang tak ada yang namanya jam kerja. Jam kerjanya amburadul. Jam kerja buruk. Tapi setidaknya bisa membuat kita sadar bahwa setiap hari tak ada yang pasti. Kebenaran hari ini belum tentu kebenaran esok hari. Ada setitik nilai dalam setiap waktu yang kita anggap sepele. Semua aturan yang Maha Merekam, Maha Menulis, Maha Jurnalis, dan Maha segalanya. Selamat datang hari Minggu. Welcome Sunday Morning.
Purnama Kingdom 2B Kamar No 6 Pukul 03.24 Wita
Saat Hyde L’Arc~en~Ciel mengalunkan “Anata”