Renungan Gila Kawan

Standar

Mengungkap semua tentang pertemanan
takkan pernah habis kawan
semua hal bisa terjadi tanpa keinginan
sesuatu yang memungkinkan
tahu kah kau bahwa aku orang yang tanpa aturan
asal-asalan
penuh kebebasan
kemunafikan
percandaan
keceriaan
hingga cacian
bagiku hinaan adalah pujian
sebagaimana kawan
yang akan menilai suatu tulisan
yang pasaran
mengandalkan kesamaan
wahai kawan
kau hanya membuat tulisan
yang sama akhiran
tertawa lah kawan
itu semudah karya seorang seniman
namun takkan mudah dicerna oleh perasaan
kawan
kau takkan mengerti artinya celaan
jikalau kau tidak memikirkan
berperan
mempelajari suatu pengalaman
bagaimana seorang gelandangan
rambut gondrong berparas tampan
tidur makan dijalanan
sebuah puisi takkan jadi penghargaan
jika kawan munafik dengan perasaan
lihatlah penataan taman
burung-burung yang berterbangan
rentetan pepohonan
susunan tumbuh-tumbuhan
jatuhnya dedaunan
coba pikirkan
renungkan
bahwa itu suatu aturan
seperti hewan
gunungan
pepohonan
bagaimana dia diciptakan
bagaimana bumi dihamparkan
bagaimana langin dibentangkan
bagaimana manusia di beri pelajaran
sesungguhnya semua itu aturan di dalam Al-Qur’an
namun kawan
kita sering meninggalkan
melalaikan suruhan
meremehkan rukun islam rukun iman
semua sudah ditetapkan
namun bagaimana dijalankan
sebagian daripada sebagian
sudah meninggalkan
mengerjakan apa yang di perintahkan
menjauhi segala rangan
itu sudah jarang terniang untuk kesekian
sudah banyak melanggar larangan
tidak sedikit mengerja larangan
namun tetap saja kita berjalan
dengan dunia ego yang kita tentukan
wahai kawan
berbagai kalangan
orang awam jalanan
kost-kostan
ilmuan
pondokan
bahkan kalangan pemerintahan
suatu pembersihan
tidak hanya jadi cerminan
tetapi bagaimana kegagalan
menjadi acuan
untuk suatu kesuksesan
seperti kelaparan
waktu yang tersisihkan
karna banyak obrolan
banyak makan
banyak jajan
tidur-tiduran
selalu senang dengan kekosongan omongan
suatu pertalian
tidak akan kuat jika tidak dipersatukan dengan ikatan
Ingat ketika kawan diperanakkan
kawan menangis ketika dilahirkan
ibu kawan tersenyum manis menawan
ayah kawa riang menerima keanugrahkan
kawan dtimang dalam pelukan
kawan akan diberikan makanan kesukaan
ketika kawan mulai diajarkan
bermain dengan layangan
mobil-mobilan
pedang-pedangan
hal yang menandakan
kelaki-lakian
ketika kawan diberi mainan
masak-masakan
boneka-bonekaan
menerangkan bahwa kawan adalah perempuan
ingat kawan ketika memasuki keremajaan
kemarahan, kesukaan, persunggingan, pembicaraan yang membuat kawan mendalami ilmu pengetahuan
tapi sayang
kawan terlena dalam buaian
kawan sudah ketiduran
kawan terbangun teringat akan perjanjian
meniti jembatan
melangkahkan kepenerbangan
coba pikirkan
bagaimana pengalaman
ketika remaja menuju pendewasaan
sadarkah kawan
disana banyak pelajaran
yang tentu sangat membingungkan
tapi sekarang kawan
coba berpikir kedepan
jangan kebelakang yang sudah kau tinggalkan
kawan punya kesempurnaan
dalam artian makhluk Tuhan
dalam ruang lingkup kewajaran
kasih sayang
percintaan
ah, itu semua hanya omongan
kawan bisa membuat lebih seribu bahkan jutaan
perkataan yang sama akhiran
namun kawan berusaha agar kata-kata ini tidak terulang demikian
layaknya sastrawan
atau seniman
apakah kawan pernah menanyakan
mengapa mereka jadi gelandangan
kawan terlantarkan tanpa makanan
kelaparan
kebusukan
cacian
penghinaan suatu keindahan
mereka akan menjawab demikian
di dalam gelandangan kawan mendapatkan kegratisan
dalam kegilaan
mereka kawan
menikmati cacian
keindahan penuh perhatian
kawan
bukankah ini hal yang memprihatinkan
kawan seorang seniman
memannya mudah hidup dalam ketiadaan
kebebasan tanpa siksaan
kawan merasakan
jikalau hidup terasa beban
padahal hidup mengalir seperti air pegunungan
jikalau kawan menentang arus maka kawan akan kesakitan
tapi jika kawan mengikuti arus maka kawan akan “nyebur” dengan kenikmatan
kawan akan merasakan
kejamnya negri seberang penuh cacian
rasakan derita para seniman
derita penuh pengalaman
sampai menghasilkan pemikiran
dan filsafat hidup pengetahuan
tidak mudah berkecimpung dengan kesenian
kalau kawan masih ketergantungan
tulisan ini tak akan pernah habis jika di teruskan
tapi pulanglah kawan
balikan perahu dengan sampan
raihlah cita-cita yang sudh tergantung di ketinggian
tenang jangan ketakutan
karna masih banyak harapan
jika basah kaki kanan
basahkanlah sekalian badan
jika bakat setengah kemauan
kembalilah kejalan Tuhan
jangan menentang karna ini sudah aturan
jalankan rukun iman
jangan luput dari penyesalan
atas dosa yang kawan lakukan
jangan berani menentang Tuhan kawan
karna itu suatu siksaan
tapi syukur kepada Tuhan
kawan jalankan
jangan ratapi kekurangan
tapi syukuri kelebihan
karna terima kasih akan menambahkan
namun kelupaan
akan menyakitkan
sudahlah kawan
jalani saja hari-harimu dengan keceriaan
tulisan ini tak usah dimakan
dia akan berjalan
mengiringi zaman

Kantuk Melanda

Standar

Tiap lembar ku lewati
tiap huruf ku cermati
tiap makna ku dalami
tiap perkataan ku resapi
lelah hati ini

sudah 60×3 menit aku menerawang di dalam rentetan kertas-kertas putih tak beruang
laksana rana ketika di shoot
diafragma membuka mengimbangi speed
memory tak selalu penuh
masih banyak ruang kosong yang harus di isi
perlahan, perlembar, perkata, permakna tersave dalam file tanpa virus

menggoda kehidupan yang mengumpulkan sastrawan sudah kumakan
wajah deportan titian pemudapun terlewatkan
angin besar menggerus ladang-ladang terhantarkan
berselimut diri
seperti cerita dua lelaki
tentang perempuan yang memburu hujan

empat kubu susunan kertas
tersamping tanpa alas
meniti mizan kesedihan Muriel
perjalanan cinta kimya
sang Putri Rumi

semua di ukir dalam enam pertanyaan
oleh Ignas sang 19 Mei
berlarut dan menangis, teriris,
tertatah ketika Aidh al-Qorni menyodorkan Renungan isy Kariiman…

Huh, sarapan pagi penuh dusta
menyudahi makan malam penuh kertas
hingga terpana menyelami matinya seorang Penari Telanjang

hati ingin…
Hasrat bergema
namun kantuk melanda
ku sudahi saja untuk membuka
membuka dunia baru di bawah Sadar

Pasayangan, 4 Des 2011

Ruang Gelap Tak Bersekat

Standar

Memulai dengan hal yang tak pantas
sampai titian berujung tidak penting
biar saja ini celaan
hanya saja mereka tidak paham
seperti bilik sunyi kepunyaan seseorang
perkuatkan prasangka kepada semua insan

dari sudut hijau berwarna kelabu
seperti paku yang menggantungkan sapu
pintu-pintu bermotif hijau berwarna kelabu
sengaja ku ulang biarkan terlihat kaku
aku menyeret kekiri pandang
tertata garis-garis papan
bingkai foto terpajang berhamburan
sejumlah para ulama yang selalu terpandang
wajah cerah bercahaya tanpa beban
dialah sang utusan Tuhan
mewariskan segala yang diberikan kepada kekasihNya

menyeret mata kebahu
seperti susunan buku dalam dedaunan
kitab berserakan namun tetap beraturan
lilitan batu 100 bergantung di pemuka cermin
lilitan kayu 100 di pembuka ulin
kapas bergantung di ujung Runcing
sebotol farfum yang jatuh selalu berbunyi gemercing

menyandar punggung melihat langit
kayu remuk hampir jatuh
cicak-cicak berdiskusi
mungkin mencari mangsa
atau hanya sekedar joging malam

hari-hari demi angka bersusun bulan berpintu tahun jelas di atas kepala
sang kepala negara beserta raja muda
nampak dihadapan mata kewibawaannya

ah,
geserkan diri kehadapan mata
sepasang sepatu lusuh bersandar dikayu
plastik berputar yang menyebabkan hawa sejuk terasa
sebatang rokok menyala
ku titi jari merasakan semua
aku termenung dalam kamarku

Layar Biru

Standar

Menatap biru oleh mata
terpaku kaki di ulin hitam
sandarkan dada ke dataran panjang menuju malam
oh,
lelah diri melaksanakan hari
laksana kijang berlari dari kucing

melangkah kaki berhalat dinding
tujuan hati mengibur lelah dan menyandar

apa ini? Layar biru penuh cemoohan
suara bising namun menyehatkan pencernaan
segi empat berbentuk kotak
cahaya biru melukis katarak
sepatu berhamburan garis mata dan hidung
semut berbaris namun berwarna biru
pertandingan sepak bola pada suatu liga
sejak kapan lapangan sepak bola berwarna biru?

Di sisi biru
di kanan biru
di pojok biru
semua garis lapangan berdomisili dalam biru
ah, mungkin penglihatanku saja

ganti saja chanel nya biar tidak biru
namun…
Tetap saja biru
tertawa tersenyum pada kebodohan
baru ku sadari
televisi Rusak ditelan Zaman

Untukku untukmu bukan untuk dipaham

Standar

Seni, gaya, dan keindahan tampil dengan coraknya sendiri. ” Mengapa aku harus cemas?. Tuhan memiliki rencanaNya sendiri dan apakah hakku mempertanyakannya?”.
“kau seharusnya tak perlu cemas. Tuhan punya cara tersendiri yang tidak kita ketahui.” jika perkiraanya benar, Tuhan akan memudahkan jalan sehingga sarannya itu terlaksana.
“jangan sentuh huruf-hurufku”
“huruf-hurufmu! Itu cuma tulisan di atas debu! Sebaiknya kau menolongku membersihkannya daripada mengajakku bertengkar!”
“biarkan aku, kumohon.”
“kamu sinting! Tulisan ini omong kosong. Apa gunanya? Apakah dengan menulis kamu bisa mendapatkan roti atau kamu jadi mahir memeras susu sapi?”. Menarik nafas panjang. Hasilnya selalu sama: entah menangis tesedu atau akan tersenyum melupakan. Betapa menjengkelkan!.
“kalian membuat kami berdua gila”
“aku tak bisa menjelaskan”
“aku ingin belajar membaca. Aku sangat ingin. Bagiku ini sangat penting.”
“apa yang sangat penting?”
aku tak bisa menjelaskannya. Aku tak bisa.”
“yuk, kita siapkan makanan.”
” isi gelasku, berhentilah bermimpi, lanjutkan makanmu.”

Muriel Maufroy

SEMOGA LEKAS SEMBUH

Standar

Rintikian air jernih terjatuh

riuh hawa dingin meniti kulit

sang illahi menurunkan kasih

menderai kalbu meniti haru

 

teringat akan kabar sahabat

yang terbaring terasa hangat

lapisan kulit tak terima penuh titikan air

tak ingin rasa pedih kian mengalir

tak ingin rasa riuh selalu mendesir

 

tak merasa diri ini apa yang kau rasa

tak bisa asa melihatmu dengan nampak

perkara yang menggema tidak terhantar jasad ku kesana

namun jiwa berharap kau bahagia

 

kuasa ku tersekat di waktu dan ruang

namun doa tetap terhantar tanpa penghalang

Semoga terhatur Kesembuhan berlari

mengahmpirimu sembari menyelimuti

agar kembali sejahtera menghias hari

 

 

Sanggar Ar-Rumi ,  15 Des ’10

Balikkan Hati Sadarkan Jiwa

Standar

Garis – garis indah nan nampak di hadapan

menerangkan tentang cahaya

indah maha karya sang pencipta

rasa diri hilang dalam pandanganNya

remuk tak tersisa namun terasa hampa tanpa karunia

Panggilan menggema di indra pendengar anak manusia

Terhanyut dalam sahutan dan pujian atas kebesaran.

 

Matahari tergelincir dari titik tengah pandangan manusia bumi

butiran air kesejukan mulai menjalar

dari ujung kulit teratas seriuh getaran dingin yang merasuk ke jendela hati

hingga ke relung jiwa

Tangan ini bergerak menuju magnet sang molukel – molukel kehidupan

yang berlari dari ujung jari berarah ke tiap kisi – kisi kaki

Panjatkan pinta kepadaNya dengan iba kesaksian Satu

dan tiada lain daripadaNya

pujian kecintaan hati disisi kekasih

agar Suci meniti lapang karena Perintah

 

wahai Dzat yang maha kaya

Ampunkan atas kesalahan

pujian atas kebesaran dan kesucian

terlantun detik – detik nafas kehidupan

Tadahkan tangan berharap keridhoan

keikhlasan yang abstrak bagi makhluk

menyelimuti tiap detak jantung

 

Sejenak bersandar menghantar pikir ke dalam sanubari nyata

Menatap layar putih beraliran petir penuh tanya

Apa yang bergerak tanpa qudrat serta iradat

Hasrat tak ingin mengulang

ungkapan para pujangga

yang terlampau sering terlihat, terdengar di kerumunan manusia

Membuka lembar demi lembar goresan sang kekasih

membuat hati berbicara

berlirih kagum tentang untaian lembut karya

pemaham kalam illahi Pembawa Cahaya Hati

utusan Sang Khalik Pententram Bumi

 

Kembali lembar demi lembar di titi dengan kulit jari – jemari

berhenti di Susunan hurup berlantun larangan MEMBEBANI DIRI.

 

Retina menyambar pikiran

hati terbawa

menelusuri rentetan tulisan yang tercipta

Larangan demi larangan terhatur

 

Wahai sekalian manusia

kalian dilarang dari Takalluf

” Terlalu Membebani Diri “. makna singkat melompat

merasuk ruang – ruang hasrat

mengirim pesan ke dalam ruang akal

janganlah membebani dalam berkata

mempersulit pena

Membuat hal – hal ganjil memperluas lafazh berbuah Tenar

Membebani diri berbuat paksa jiwa

persulit tubuh membawa urusan taqwa

di selimuti tujuan emosi nafsi

janganlah membebani di ruang teduh ilmu – ilmu

meniti sesuatu yang tidak mampu

tenggelam dalam sungai dangkal

merangkul pelampung kecil kesalahan

bertanya sesuatu yang belum terjadi

 

Menengadah berpikir menoleh lingkaran waktu

Masih ada detik untuk merintis hati

Pandang pun kembali di ruang putih penuh janji Sanggahan dalam berhias diri

tampilan berlebih bermewah terlontar dan terungkap

menyiakan waktu bersolek Tanya

Begitu berulang

janganlah diri berbuat hina

memelihara sengsara

karna menjalankan harapan hati keridhaan manusia

 

Laranglah hasrat membebani diri

tergopoh dalam mata pencaharian

Memberi di atas kemampuan

penguasa menanggung janji sejahtera

pada kumpulan manusia

membebani diri mengumpulkan harta

jauh terlampau di atas kebutuhan.

 

Beribu makna terhantar ke relung jiwa

Memandang kembali lingkaran waktu

Syukurkan qolbu dengan apa yang sudah di beri

Balikkan hati

sadarkan jiwa

dari papan hitam

kembali menuntut cahaya illahi.

 

Keraton, Martapura 15 Des ’10

SeruanMu Dalam SubuhMu

Standar

Lantunan panggilan sang penguasa fajar menggema

Qudrat iradat Menyelimuti perputaran

gerakkan hati bangunkan jiwa lantunkan syukur

hidup mati selalu berputar

perdapati tetesan karunia membuka indera

 

wahai sang pencipta..

sujud syukurku terhantar

pujian kebesaran terlontar

mengingat tanpa sekat berkarat

 

harapan hati laksana alif menderai air mata

berikan kembali hari – hari di atas keridhoanMu

agar lapang tiada beban

menjalani qada qadar yang tertera

pahit manis tanpa kesah

Ambisi Membebani Hati

Standar

Garis – garis indah nan nampak di hadapan menerangkan tentang cahaya indah maha karya sang pencipta. Hilang.. Hilang dalam pandanganNya remuk tak tersisa namun terasa hampa tanpa karuniaNya. Panggilan menggema di indra pendengar anak manusia. Terhanyut dalam sahutan dan pujian atas kebesaranNya. Matahari tergelincir dari titik tengah pandangan manusia bumi, butiran air kesejukan mulai menjalar dari ujung kulit teratas seriuh getaran dingin yang merasuk ke jendela hati hingga ke relung jiwa. Tangan ini bergerak menuju magnet sang molukel – molukel H2o yang berlari dari ujung jari berarah ke tiap kisi – kisi kaki. Panjatkan pinta kepadaNya dengan iba kesaksian Satu dan tiada lain daripadaNya dan pujian kecintaan hati disisi kekasihNya agar Suci dan lapang karena Perintah.

Ampunkan atas kesalahan pujian atas kebesaran dan kesucian zatNya di lantunkan detik – detik nafas kehidupan. Tadahkan tangan berharap keridhoan dan keikhlasan yang abstrak bagi makhluk menyelimuti tiap detak jantung. Sejenak bersandar menghantar pikir ke dalam sanubari nyata. Menatap layar putih beraliran listrik beku penuh tanya. Apa yang harus dilakukan tanpa ilham. Hasrat tak ingin mengulang kata – kata pujangga yang terlampau sering terlihat dan terdengar di kerumunan manusia sastra. Membuka lembar demi lembar catatan kaki sang maestro ulung membuat hati berbicara, berlirih kagum tentang untaian lembut karya. Dia lah manusia Qorni, hafiz kalam ilahi, pemaham kalam Pembawa Cahaya Hati utusan Sang Khalik Pententram Bumi.

Kembali lembar demi lembar di titi dengan kulit jari – jemari hingga berhenti di Susunan hurup berbunyi TERLALU MEMBEBANI DIRI. Retina menyambar pikiran dan hati terbawa menelusuri rentetan tulisan yang tercipta. Larangan demi larangan terhaturkan di dalam sana. Umar RA. Berkata : Kami dilarang dari Takalluf ” Terlalu Membebani Diri “. Kata yang singkat melompat merasuk ruang – ruang hasrat mengirim pesan ke dalam otak. Larangan membebani dalam berkata dengan mempersulit meja kerja. Membuat hal – hal ganjil memperluas lafazh berbuah Tenar. Membebani diri berbuat paksa jiwa persulit tubuh membawa urusan taqwa di selimuti tujuan emosi nafsi. Larangan membebani di ruang teduh ilmu – ilmu meniti sesuatu yang tidak mampu, tenggelam dalam sungai dangkal berpegang dengan pelampung kecil kesalahan, bertanya sesuatu yang belum terjadi.

Menengadah berpikir menoleh ke lingkaran waktu. Masih ada detik untuk merintis kata – kata. Pandang pun kembali di ruang putih penuh susunan kata. Sanggahan dalam berpakaian dan penampilan berlebih bermewah terlontar dari ungkapan, menyiakan waktu berhias. Begitu berulang larangan diri berbuat hal hina memelihara sengsara hanya menjalankan harapan hati keridhaan manusia. Larangan membebani diri terlontar dalam mata pencaharian. Memberi di atas kemampuan. Sang penguasa menanggung janji memberi manfaat pada kumpulan manusia, membebani diri mengumpulkan harta jauh di atas kebutuhan. Beribu makna terasa dalam di jiwa. Memandang kembali ke lingkaran waku. Cukup!.. Cukup di sini. Hasrat diri Harus segera beranjak dari papan hitam bergegas kembali menuntut cahaya ilmu sebagaimana mesti.

Pasayangan, 14 Des ’10

( Di karang ketika sesudah shalat Dzhur sebelum berangkat Kuliah ^_^ )

Ranai

Standar

kita memang tak sedang memikirkan bagaimana hujan mengalir lembut laksana nada-nada yang tak punya tujuan  selalu tak pernah ada pembaharuan tanpa perhatian oleh kalangan manusia di sentero negeri buaya

 

kita memang tak sedang memikirkan perkalian antara tujuh dan tujuh yang menjadi empat puluh sembilan yang jika dikali seribu empat ratus enam puluh delapan maka pasti menunjuk tujuh puluh satu ribu sembilan ratus tiga puluh dua 

 

Kita memang tak sedang memikirkan kepastian yang terbang melayang ke udara menerawang sosok-sosok penuh dusta

 

kita memang tak sedang bermandikan cahaya laksana lagu Rhoma Irama ketika malam bulan purnama tiba

 

Kita memang tak sedang mecari-cari dimana kaktus Texas bersembunyi ketika Amsterdam yang penuh ganja menyelimuti tiap hati rusa yang sedang diburu oleh majikannya

 

Tetapi, kita sedang meniti tiap detik menit jam waktu hari bulan dan tahun dimana kita berpijar pada sebuah kawat yang rentan getaran sekeras dan senyaring tabuhan kapas pada sehelai rambut di bawah gemburan tanah yang menghilang dalam tidurnya manusia

 

kita sedang menikmati kenikmatan yang tak kita nikmati ketika nikmat yang tidak kita nikmati itu datang dan pergi dan lagi menemani jemari tiap sudut kaki hingga diri tak lagi sunyi dari segala rasa hiri dengki tanpa hakiki

 

kita sedang tenggelam dalam heterogen manusiawi supersive sedalam hati yang berarlun rinai gemulai ditemani kindai terpuruk dalam ramai dan terangsang seperti keledai

 

karena yang pasti, tak ada  permai selain roh-roh itu melayang pada seratus tujuh pulah juta malam penuh kenikmatan yang menggelombangkan mengalirkan merasukkan merajamkan menenggelamkan dan menentramkan damai